PLN dan Investasi Aset Industri Listrik Nasional
Gomos B Silitonga
KOMPAS - BEBERAPA hari lalu di koran ini kita menyaksikan polemik mengenai kondisi suplai listrik di Sumatera Barat yang dikeluhkan gubernur setempat. Di akhir polemik, Direktur Utama PLN menjanjikan bahwa kondisi listrik di Sumatera Barat akan pulih dalam waktu yang singkat dengan perbaikan dan pembangunan beberapa pembangkit. Sebenarnya, sampai di manakah kondisi keuangan PLN dapat mengiringi laju pertumbuhan permintaan listrik pada saat ini dan seberapa besar tantangan yang harus dihadapi dalam melakukan investasi aset untuk industri listrik di Indonesia?
JIKA kita melihat kondisi keuangan PLN untuk tahun 2003, pertama-tama kita masih melihat rugi bersih Rp 3,58 triliun. Dalam ukuran apa pun tentu besaran rugi ini akan masuk dalam kategori fantastis. Tetapi, karena laporan laba-rugi sudah memuat berbagai macam kegiatan perusahaan, dari sisi pendanaan ataupun perubahan nilai dari sisi aset, untuk menilai lebih jauh keberhasilan kegiatan operasi sebuah perusahaan sebaiknya kita mengukur besaran laba operasi. Laba operasi PLN yang tercatat minus Rp 1,4 triliun. Dengan kata lain, sampai dengan 2003, PLN masih rugi operasi Rp 1,4 triliun.>a 12045m<
Mengapa kerugian itu terus terjadi di tengah tarif listrik yang terus meningkat? Mungkin kita harus melihat lebih jauh lagi ke dalam laporan keuangan PLN. Di dalam laporan laba-rugi untuk pos beban operasi terlihat bahwa PLN mencatatkan Rp 12,74 triliun sebagai biaya depresiasi aset. Depresiasi adalah biaya virtual yang dikeluarkan perusahaan atas pemakaian aset dalam proses produksi dan dibebankan ke konsumen. Praktik ini memang jamak di dalam akuntansi. Dengan demikian, walaupun secara kinerja operasional PLN masih tetap merugi, dalam proses akumulasi kas sebenarnya PLN telah mengalami keuntungan dari sisi besaran arus kas yang meningkat. Mengapa? Jika kita membuat sebuah laporan laba-rugi analitis terhadap PLN, dengan mengeluarkan biaya depresiasi Rp 12,74 triliun, akan terlihat selama tahun 2003 PLN sebenarnya mengalami keuntungan operasional dari sisi potensi arus kas sebesar Rp 11,3 triliun (- Rp 1,4 triliun + Rp 12,74 triliun). Bilangan Rp 11,3 triliun itu lebih dikenal dengan istilah laba sebelum suku bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA), yang menjadi acuan dalam menghitung kemampuan perusahaan melakukan akumulasi kas dari kegiatan operasional.
Bukti PLN telah mengalami keuntungan secara kas dapat dilihat dari pertumbuhan nilai kas perusahaan yang sempat menyentuh angka Rp 9,31 triliun pada September 2003, sebelum turun menjadi Rp 7,23 triliun pada Desember 2003 sewaktu PLN melakukan pembayaran beberapa pos utang. Nilai ini tentu sangat jauh berbeda dengan kondisi PLN pada tahun 1997-2000 di mana PLN mengalami kesulitan keuangan akibat turunnya nilai rupiah terhadap dollar AS yang membuat PLN mengalami rugi EBITDA pada tahun 1999 dan 2000, dan berujung pada restrukturisasi keuangan perusahaan akibat ketidakmampuan membayar utang pada periode tersebut.
Kondisi kredit
Utang PLN sampai akhir tahun 2003 tercatat Rp 34,32 triliun berupa utang kepada kreditor (bank, obligasi, pemerintah) dan utang pajak revaluasi. Jumlah cicilan utang PLN setiap tahun diperkirakan Rp 2,5 triliun. Dapat terlihat, sebenarnya PLN tidak punya kesulitan pembayaran utang karena dari EBITDA yang dihasilkan selama tahun 2003 saja jumlah cicilan utang itu hanya sebesar 22 persen dari total EBITDA yang mencapai Rp 12,74 triliun. Jadi, masih ada 78 persen dari EBITDA yang bisa mengalir ke neraca perusahaan (untuk lebih menyederhanakan analisis, mungkin di sini kita bisa abaikan dahulu pembayaran bunga). Sampai di sini kesimpulannya adalah PLN telah mempunyai kemampuan akumulasi kas yang berkesinambungan yang telah memungkinkan PLN untuk dapat berkonsentrasi dalam melakukan ekspansi ke sisi aset dan meningkatkan pelayanan listrik di negara ini.
Melihat hanya dari sisi analisis kredit yang menggambarkan besaran utang perusahaan terhadap kinerja operasional yang dalam kerangka analisis ini diwakili EBITDA, maka akan semakin terlihat bahwa kekuatan PLN dalam melayani tuntutan pembayaran utang masih lebih kuat.
Sebagai contoh, jika kita bandingkan utang/EBITDA untuk PLN dengan Tenaga Nasional Bhd dari Malaysia dan Electricity Generating Authority of Thailand (EGAT), secara kasatmata PLN masih lebih baik dibandingkan dengan kedua perusahaan tersebut. Untuk rasio utang/EBITDA, PLN mencatat rasio sebesar 3,03x pada tahun 2003. EGAT dan Tenaga Nasional Bhd masing-masing mencatat rasio 3,89x dan 6,3x (karena keterbatasan data, untuk EGAT kami masih memakai angka tahun 2002). Jadi, secara sederhana, PLN pada saat ini sebenarnya telah memiliki kemampuan untuk melakukan ekspansi aset. Secara relatif kinerja operasionalnya telah positif dan neraca PLN terhitung tidak mempunyai ancaman yang besar untuk melakukan ekspansi sisi aset yang wajar.
Program gasifikasi
PLN juga masih mempunyai kesempatan untuk meningkatkan arus kasnya dengan beberapa program efisiensi. Antara lain melalui program untuk kembali menggunakan bahan bakar gas pada pembangkitan yang memang didisain untuk menggunakan bahan bakar gas. Beberapa tahun belakangan sejumlah pembangkit PLN dengan basis energi gas bumi cenderung harus menggunakan BBM sehingga biaya yang timbul dari pemakaian energi akan lebih mahal. Hal itu terjadi karena deplesi yang terjadi di beberapa ladang gas bumi kita akibat minimnya investasi tambahan di industri gas bumi pascakrisis ekonomi. Bukan hanya listrik yang terkena imbasnya, industri pupuk malah lebih parah karena beberapa produsen pupuk yang juga membutuhkan gas bumi sampai saat ini tidak dapat berproduksi (atau minimal harus mengurangi produksi) karena kurangnya pasokan gas. Bagi PLN, dengan kembali memakai gas, biaya operasional dari pemakaian bahan bakar dapat turun sehingga arus kas akan bertambah.
Di satu sisi, hal ini menggambarkan kesempatan untuk meningkatkan arus kas dan efisiensi biaya, tetapi di sisi lain menggambarkan kondisi industri gas bumi akan memengaruhi kondisi industri strategis lainnya, seperti listrik dan pupuk. Kebijakan di industri hulu seperti gas bumi akan sangat krusial dalam menyokong atau membonsai industri lainnya.
Seperti diuraikan sebelumnya pada harian ini, tarif dan restrukturisasi keuangan menjadi penentu keluarnya PLN dari krisis. Pada Desember 2003 tarif yang diperoleh PLN telah mencapai Rp 592/KWh, atau dengan kurs Rp 9.400 per dollar AS, tarif tersebut setara 6,3 sen dollar AS per KWh.
Walaupun tarif listrik pada saat ini dinilai cukup mahal oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia, tarif listrik di Indonesia memang masih cenderung lebih murah (Bagan 1). Tetapi jika dibandingkan dengan tarif di Malaysia, tarif listrik Indonesia masih lebih mahal. Satu hal yang harus disadari, tarif merupakan fungsi dari produktivitas aset dari sisi pendapatan yang dihasilkan aset tersebut. Dengan kata lain, semakin produktif aset yang dimiliki perusahaan, semakin rendah pula tarif yang dipersyaratkan akibat efisiensi biaya tetap (fixed cost) yang semakin baik dari aset yang semakin produktif tersebut. Lalu semakin tinggi produktivitas aset, akan semakin deras pula arus investasinya. Akhirnya komponen tarif akan berhubungan beban investasi yang harus ditanggung pelaku industri. Produktivitas aset ini sepertinya masih akan menjadi konsideran utama dalam menentukan arahan investasi listrik ke depan.
Produktivitas aset
Dalam hal perbandingan kondisi tarif di Indonesia dan Malaysia, kondisi produktivitas pembangkit listrik di Indonesia dibandingkan dengan produktivitas pembangkit di Malaysia sangat berbeda. Hal ini bisa terjadi karena load curve (kurva beban daya, mencerminkan permintaan daya listrik untuk setiap hari) Malaysia mempunyai varian yang lebih kecil dibandingkan dengan kurva beban listrik Indonesia. Untuk kasus Indonesia, permintaan daya listrik setiap hari meningkat tajam antara jam 17.30-22.30. Di luar jam-jam tersebut, permintaan listrik tidak terlalu banyak sehingga produktivitas pembangkit Indonesia menjadi rendah. Sedangkan untuk kasus Malaysia, permintaan daya yang lebih besar terjadi dalam durasi waktu yang lebih lama, antara pukul 09.00-23.00. Perbedaan ini bisa terjadi karena rendahnya konsumsi listrik dari golongan industri di Indonesia dibandingkan Malaysia.
Di Malaysia rata-rata pemakaian listrik untuk konsumen dari kelas industri adalah sebesar 1,5 juta KWh/tahun, sedangkan di Indonesia masih setengahnya, atau sekitar 787.000 KWh/tahun. Dan pemakai dari kalangan industri sangat penting dalam memperpanjang waktu produktivitas pembangkit tenaga listrik karena pemakai dari kalangan industri biasanya mengonsumsi listrik dalam durasi waktu yang lebih lama dari konsumen residensial. Dengan penggunaan listrik yang lebih lama dari golongan ini, kurva beban penggunaan listrik di Indonesia dapat lebih optimal yang tentunya akan memperbaiki produktivitas aset pembangkitan itu sendiri.
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi kendala terhadap lemahnya konsumsi listrik industri di Indonesia. Antara lain mungkin insentif tarif bagi industri dan keandalan mutu listrik PLN yang menyebabkan konsumen industri enggan menggunakan listrik PLN, dan lebih banyak menggunakan pembangkit listrik sendiri.
Masalah kedua yang masih berkaitan dengan produktivitas aset listrik di Indonesia adalah sulitnya membangun jaringan transmisi antardaerah akibat kontur geografi Indonesia yang terdiri banyak pulau. Bayangkan jika ada pulau yang sangat menginginkan listrik di mana kebanyakan pemakainya residensial (perumahan). Tentu kapasitas pembangkit yang diinginkan pun kecil sehingga dibangunlah pembangkit kecil berbahan bakar solar. Karakteristik pembangkit berbasis energi BBM ini investasinya murah dan pembangunannya cepat sehingga pemakai listrik akan segera terlayani. Dalam jangka panjang, sebenarnya pembangkit jenis ini akan merugikan karena biaya pembangkitannya yang lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit dengan sistem combined cycle (pembangkit listrik tenaga gas dan uap/PLTGU). Sebagai catatan, biaya pembangkitan yang tercatat oleh PLN untuk PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) pada 2002 sebesar Rp 849,6/KWh (bandingkan dengan tarif listrik Rp 592/KWh pada saat ini), sedangkan untuk PLTGU adalah Rp 316,3/KWh pada periode yang sama. Selain itu, PLTGU sendiri membutuhkan skala ekonomi yang lebih besar. PLTGU membutuhkan batas bawah permintaan yang lebih besar dibandingkan PLTD agar PLTGU bisa berjalan efisien untuk menanggung biaya investasi yang begitu tinggi.
Sebagai contoh, kapasitas rata-rata PLTGU di Indonesia adalah 124 MW, sedangkan rata-rata kapasitas PLTD adalah 1,5 MW. Jika kita asumsikan biaya investasi pembangkitan sebesar satu juta dollar AS untuk setiap MW daya, rata-rata beban investasi untuk pembangunan PLTGU adalah sebesar 124 juta dollar AS (Rp 1,16 triliun), sedangkan rata-rata pembangunan tiap PLTD hanya sebesar 1,5 juta dollar AS (Rp 14 miliar). Akan menjadi sulit jika untuk mengejar pembangunan pembangkit yang biaya operasinya murah, lalu dibangun sebuah PLTGU yang membutuhkan pendanaan sebesar Rp 1 triliun di sebuah tempat yang kapasitas pemakaiannya rendah. Tentu produktivitas aset PLTGU itu sendiri akan menjadi kecil dan pengembalian investasinya akan menjadi sangat panjang.
Masalah produktivitas ini bukannya tanpa solusi. Jelas, solusinya adalah pembangunan jaringan transmisi antara satu pulau dan pulau yang lain. Dengan pembangunan transmisi ini, penghantaran listrik antarsatu daerah dengan daerah yang lain yang tadinya terisolasi akan termediasi sehingga skala ekonomi dari pembangkitan akan meningkat dan efisiensi biaya pembangkitan akan berubah. Sederhananya, untuk mencukupi permintaan listrik di daerah yang permintaan listriknya sedikit, daripada dibangun PLTD di daerah tersebut lebih baik daerah itu mengambil kelebihan kapasitas dari PLTGU atau pembangkit berbiaya murah lainnya di daerah lain dengan menggunakan jaringan transmisi sehingga aset pembangkitan akan lebih produktif dan efisiensi biaya akan lebih meningkat.
Tetapi, untuk membangun transmisi listrik yang cukup untuk dapat menghubungkan kantong-kantong permintaan listrik di Indonesia perlu biaya besar. Menurut studi Bank Pembangunan Asia, untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi tersebut membutuhkan pendanaan kira-kira sebesar 13 miliar dollar AS atau setara Rp 122,2 triliun. Jumlah ini tidak kecil untuk Indonesia.
Walaupun kondisi kesehatan keuangan PLN telah mengalami perubahan positif yang signifikan untuk melakukan ekspansi aset, sepertinya masalah kelistrikan Indonesia tidak dengan serta-merta akan hilang sampai beberapa tahun ke depan. Produktivitas aset yang rendah, mahalnya biaya investasi untuk merealisasikan keuntungan jangka panjang dari pembangkit dengan biaya operasi yang rendah, masih menjadi tantangan besar bagi kondisi infrastruktur listrik di Indonesia.
Gomos B Silitonga Analis Kredit Danareksa Sekuritas
sumber: