Perusahaan Tambang Diizinkan Eksplorasi
Kompas, 11 Juli 2005
ÂÂ
�Izinnya akan segera keluar. Keenam perusahaan tambang tersebut sebenarnya sudah mengajukan permohonan izin penambangan pada awal bulan Januari 2005. Namun, proses perizinan kami hentikan karena ada pengajuan judicial review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2004,� kata Kepala Informasi Departemen Kehutanan Transtoto Handadhari, Jumat (8/7) di Jakarta.
Transtoto menjelaskan, keenam perusahaan pertambangan tersebut merupakan bagian dari 13 perusahaan yang telah mendapatkan izin menambang di kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004. Keenam perusahaan tersebut adalah PT Weda Bay, PT Natarang Mining, PT Karimun Granit, PT Sorikmas, PT Aneka Tambang, dan PT Nusa Halmahera.
Ditambahkan, dalam memproses perizinan, pemerintah akan tetap berpegang pada asas kelestarian dan akan memperketat terhadap kemungkinan kerusakan hutan lindung akibat aktivitas penambangan. �Kalau ada perusahaan melanggar ketentuan, izinnya bisa kami cabut,� katanya tegas.
Pengaturan eksplorasi di kawasan hutan lindung juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/MENHUT-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan.
Isi peraturan menteri itu di antaranya pengaturan jangka waktu perizinan, tata cara monitoring, dan kewajiban perusahaan tambang untuk mereklamasi hutan yang ditambang sebelum membuka blok baru.
Pemerintah sendiri telah menetapkan 14 blok lokasi penambangan di kawasan hutan lindung bagi 13 perusahaan pertambangan. Adapun luas total areal untuk 14 blok tersebut sekitar 927.648 hektar. Menurut data Dephut, total areal 14 blok luasnya setara dengan 2,7 persen dari luas total hutan lindung di
Harus dilarang
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam tim advokasi penyelamatan hutan lindung mendesak pemerintah agar tidak mengeluarkan izin eksplorasi. Enam perusahaan tambang harus tunduk pada ketentuan Pasal 38 Ayat (4) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. �Keputusan Mahkamah Konstitusi memang menolak judicial review. Tetapi, Mahkamah Konstitusi juga meminta mereka tetap tunduk pada UU No 41 tahun 1999,� kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Chalid Muhammad.
Chalid menambahkan, keputusan Mahkamah Konstitusi menolak judicial review sebagai preseden buruk yang berdampak kepada upaya pemerintah untuk selalu menggunakan mekanisme perpu guna meloloskan rencana pembangunan yang berdampak besar terhadap hajat hidup orang banyak.
�MK tampaknya tidak berani mengambil sikap tegas. Mereka malah memilih untuk berkompromi dengan pemerintah,� ujar Chalid.
sumber: