Perusahaan Batubara Menunggak Royalti Rp. 2 Triliun
Koran Tempo / Selasa, 13 Januari 2004 / EKBIS : Industri dan Multimedia / Halaman 8
Jakarta - Hingga kini royalti pemerintah senilai Rp. 2 triliun belum dibayarkan oleh perusahaan pertambangan batubara sejak 2001. Belum dibayarkan royalti tersebut dikarenakan pemerintah belum mengembalikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Jeffrey Mulyono, royalti pemerintah itu ditahan dikarenakan dana perusahaan, terutama perusahaan yang menandatangani Kontrak Karya Generasi I, berupa PPN yang dipungut Departemen Keuangan belum dikembalikan sejak 2001.
Sesuai ketentuan, perdagangan eksport batubara yang dikenakan PPN sebesar 10 persen harus dikembalikan kepada perusahaan tambang sejak pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No. 144 Tahun 2000. PP tersebut untuk mengubah status batubara dari barang kena pajak menjadi barang tidak kena pajak dan berlaku efektif sejak 2001.
Sedangkan dalam pasal 11 ayat 2 dan 3 Kontrak Karya Generasi I disebutkan, bila terjadi pengenaan perpajakan baru, pemerintah akan mengembalikannya. Departemen Keuangan beranggapan, PPN yang sudah di pungut tidak bisa direstitusi.
Sesuai Kontrak Karya, Kata Jeffrey, pajak yang dipungut pemerintah harus dikembalikan heingga 60 hari. “Tapi sampai sekarang belum dikembalikan, sehingga royalti pemerintah kami tahan,� ujarnya kemarin.
Dia menambahkan, kondisi ini menyebakan arus kas perusahaan batubara terganggu. Sehingga dalam laporan keuangan disebutkan, restitusi PPN itu sebagai piutang pemerintah. Disisi lain, perusahaan tambang menyatakan berutang royalti kepada pemerintah. “Kami sudah mengusulkan agar PP No. 144 direvisi dengan mengembalikan status batubara sebagai barang kena pajak, sehingga kami terbebas dari PPN,“ ujarnya.ÂÂ
Catatan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, sejak 2001, royalti pemerintah yang ditahan oleh perusahaan pertambangan batubara Rp. 1,125 triliun. Perinciannya, pada 2001 dana yang ditahan Rp. 500 miliar, dan hingga Agustus 2003 mencapai Rp. 125 miliar.
Penahanan royalti batubara menyebabkan sumbangan sektor pertambangan umum kepada APBN mengalami penurunan. Pada 2001 pemasukan negara dari sektor pertambangan sebesar Rp. 1,7 triliun. Dua tahun terakhir, nilainya menurun dari Rp. 1.3 triliun menjadi 1,1 triliun.
Sementara itu, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Simon Felix Sembiring mengakui adanya penahanan royalti pemerintah yang berasal perusahaan pertambangan. Karena itu pihaknya sudah mengirim surat kepada perusahaan batubara untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya.
Menurut  Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Simon Felix Sembiring, upaya perusahaan menahan royalti pemerintah karena PPN mereka belum dikembalikan Departemen Keuangan tidak bijaksana. Sebab, perusahaan tambang seharusnya memisahkan antara kewajiban membayar royalti. �Jika surat tertulis itu tidak ditanggapi, kami akan memanggil mereka,� ujarnya mengenai sikap pemerintah.
Dari sisi produksi, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mentargetkan volume produksi pada tahun ini meningkat sembilan juta ton menjadi 119 juta ton dibandingkan sebelumnya 109 juta ton. Produksi tersebut akan meningkat pada 2020 menjadi 200 juta ton.
Peningkatan volume produksi sebesar sembilan juta ton pada 2004 disebabkan beberapa perusahaan batubara baru sudah menyelesaikan konstruksinya dan akan memulai produksi. Perusahaan tersebut antara lain PT Garda Tujuh Buana, PT Kalimantan Energi Lestari, PT Marunda Graha Mineral, dan PT Mandiri Intiperkasa dan peningkatan produksi PT Kaltim Prima Coal hingga 24 juta ton.ÂÂ
ÂÂ
sumber: