PERUBAHAN IKLIM BISNIS DI INDONESIA DAN DAYA TARIK TERTAMBANGAN
Indonesia telah mengalami peristiwa kerusuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya sekitar tujuh tahun yang lalu, sejak awal terjadinya krisis finansial Asia pada tahun 1997. Jatuhnya Prsiden Suharo pada tahun berikunya, setelah 32 tahun brkuasa, mengantarkan Indonesia pada era baru reformasi. Bagaimanapun, skandal korupsi, kerusuhan yang dramatis antar etnik telah megakibatkan investasi asing terhambat. Baru-baru ini, negara juga mengalami serangan teroris dengan pemboman dahsyat di Bali dan Hotel Marriot di Jakarta.
 Berlawanan dengan latar belakang yang hiruk pikuk tersebut, negara merubah diri dari sistem lama, sistem pemerintahan sentralistik, ke dalam demokrasi sekular yang moderat dan lebih stabil. Dalam tahun 2001, pemerintah bergerak ke arah desentralistiasi dan merestrukturisasi penghasilan dari sumberdaya alam dari Jakarta ke daerah yang dalam prosesnya dikenal sebagai Otonomi Daerah. Negara akan menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung pada Juli 2004.
 Berdasarkan laporan dari PriceWaterhouseCoopers 2003, terdapat beberapa isu kunci dalam sektor pertambangan yang membutuhkan perhatian segera dan upaya koordinasi pemerintah. Isu-isu tersebut membutuhkan penyelesaian seperti perlindungan terhadap kontrak, divestasi terhadap modal asing/kepemilikan bersama dengan modal Indonesia, pengadilan internasional dan jaminan keamanan.
Dengan seperempat produksi timah dunia, dan batubara sebagai tiga besar eksportir dunia, serta endapan yang sangat besar pada emas, tembaga dan nikel, Indonesia seharusnya menjadi tujuan utama untuk perusahaan pertambangan. Negara juga mempunyai jumlah yang signifikan pada intan (aluvial), bauksite alumina, pasir besi dan mineral-mineral industri. Belum lagi cadangan minyak dan gas alam di mana Indonesia mempunyai satu cadangan terbesar dunia.
Indonesia adalah negara pertambangan yang masih muda dengan potensial yang sangat signifikan untuk pengembangan sumberdaya alam di masa yang akan datang. Metode eksplorasi modern baru saja diterapkan dalam 20 tahun terakhir.
Meskipun Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, perkembangan selama 2 tahun terakhir sangat mengesankan. Menurut pemerintah Indonesia, 4% dari GDP tahun 2003 hampir sepenuhnya digerakkan oleh kekuatan domestik karena Indonesia saat ini telah menghentikan program bantuan finasial dari IMF, yang banyak membantu dalam peningkatan produksi pertambangan. Kontribusi pertambangan terhadap GDP naik 34% dalam tahun 2001 dari tahun sebelumnya, menjadi kurang lebih USD 5,36 milyar atau 2,5% dari total GDP, dan meningkat mendekati 3,5% dari total GDP pada akhir 2003.
Nilai total ekspor mineral Indonesia pada tahun 2001 sebesar USD 3 milyar dengan 93% dari total tersebut berupa bijih tembaga dan batubara.
Berdasarkan laporan dari Canada Fraser Institut, indeks potensial mineral Indonesia berdasarkan prospeksi geologis, setara dengan Afrika Selatan, Peru dan Meksiko. Begitu hambatan-hambatan politik dihilangkan, Indonesia akan kembali menempati rangking terbaik dunia untuk potensial mineral dan batubara (ep/sus).
 Sumber: Mining Magazine, Maret 2004
ÂÂ