Pertaruhan sumberdaya mineral dan batubara (2): Eksploitasi dan Konservasi
Apa Strategi Kita?
Sebuah pertanyaan mendasar berkenaan dengan strategi pengelolaan pertambangan ke-depan adalah dikaitkan dengan situasi negara-negara dan dunia saat ini. Pertanyaannya adalah di dalam konteks ini apakah sumberdaya mineral dan batubara tersebut akan dieksploitir secara besar-besaran atau seperlunya saja dengan menyisakan untuk kepentingan jangka panjang negara dan rakyat.
Untuk itu bisa kita lihat beberapa praktek pemanfaatan sumberdaya mineral dan batubara di berbagai negara. Pertama, kita dapat melihat penerapan mekanisme ekonomi pasar khususnya untuk negara yang sudah maju, baik yang kaya dengan sumberdaya ataupun yang miskin sumberdaya alam. Kelebihannya mereka memiliki posisi tawar yang cukup tinggi dari sisi teknologi, keahlian sumberdaya manusia, modal dan infrastruktur. Dengan posisi tawar yang besar ini mereka mampu untuk melakukan investasi dan eksploitasi bahkan intervensi di negara lain untuk kepentingan negara mereka sendiri. Bahan mentah dari segala penjuru bisa dicari dan di impor untuk dikembangkan di negara mereka sendiri. Di sisi lain, kekayaan sumbeedaya mineral dan batubara yang ada di negara mereka umumnya digunakan untuk kebutuhan mereka sendiri atau hanya digunakan seperlunya saja untuk cadangan jangka panjang. Contohnya adalah negara-negara di Eropa, juga Amerika Serikat. Untuk mengamankan mekanisme pasar ini, mereka juga mengandalkan jalur politik bahkan militer bila perlu. Beberapa perang yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya juga nampaknya kental dengan kepentingan persaingan dan perebutan sumberdaya alam, termasuk minyak dan bahan galian lainnya.
Di Asia, Jepang, Korea dan Taiwan juga merupakan pengimpor bahan mentah dari segala penjuru dunia. Sebagai pengecualian bisa disebutkan antara lain Australia. Sebagai negara maju, Australia juga mengekspor bahan mentah utama atau bahan setengah jadi seperti batubara, alumina, dll. Namun perlu dicatat bahwa penduduk Australia cukup sedikit dibandingkan dengan luas daratan dan jumlah kekayaan alamnya yang sangat besar sehingga kebutuhan dalam negeri mereka juga masih sedikit.
Ke-dua, pola lain yang juga menarik untuk dievaluasi adalah dengan kebijakan yang lebih konservatif dan protektif. Contohnya adalah China dengan sumberdaya mereka yang cukup besar, mereka menerapkan kebijakan protektif dalam arti seluruh potensi alam atau mineral dan batubara mereka digunakan sepenuhnya untuk kepentingan domestik. Di sisi lain mereka masih bisa ekspansif dengan melakukan pencarian bahan mentah di segala penjuru. China adalah satu fenomena negara yang sedang berkembang sangat pesat saat ini dan mereka teramat sadar bahwa potensi sumberdaya mineral dan batubaranya adalah modal dasar, sehingga diupayakan seluruhnya untuk menggerakan roda industri di dalam negeri mereka sendiri. Hal ini satu hal yang wajar, karena mareka harus melayani rakyatnya yang jumlahnya sangat besar, saat ini lebih sudah lebih dari 1,3 miliar penduduk.
Saat ini Brazil, Rusia India dan China disebut dengan negara BRIC. Sebagai negara yang diramalkan akan terus meningkat kontribusinya bagi ekonomi dunia. Bahkan pada tahun 2050 menurut analisis Goldman Sachs akan menjadi negara-negara kuat dan kaya mengalahkan negara-negara yang ada saat ini seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan Perancis. Sebagai perbandingan, kira-kira lima puluh tahun yang lalu, tidak ada yang menduga bahwa Jepang dan Jerman akan menjadi negara kuat dan maju saat ini. Apalagi saat itu mereka baru melakukan rekonstruksi kembali setelah mengalami kekalahan di dalam Perang Dunia II.
BRIC telah melakukan dua kali Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yaitu pada 16 Juni 2009 di Rusia dan 15 April 2010 di Brazil, yang bertujuan untuk menegaskan posisi mereka di dunia. Beberapa posisi penting yang diusulkan BRIC diantaranya adalah reformasi institusi keuangan internasional (IMF) agar lebih menampung negara berkembang, diversifikasi sistem moneter internasional agar tidak berfokus pada US dollar, serta permintaan agar Brazil dan India dapat lebih memainkan peran di PBB.
Hal-hal di atas adalah bagian yang perlu dicermati di dalam konteks pengelolaan sumberdaya mineral dan batubara. Sudah saatnya terjadi pergeseran paradigma pengelolaan dari eksploitasi ke optimalisasi manfaat. Sudah saatnya kepentingan nasional dinomorsatukan. Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar yang berarti memerlukan kebutuhan mineral dan batubara yang juga besar perlu menjadi salah satu pertimbangan ke-depan. Maka ini membutuhkan suatu bentuk perubahan cara pandang yang cukup mendasar di dalam tata manajemen sumberdaya mineral dan batubara. Bahan baku untuk ini sudah ada, yaitu UU Minerba beserta produk turunannya, berupa peraturan pemerintah, peraturan menteri serta berbagaipedoman dan tata cara lainnya. Cara pandang tersebut meliputi aspek investasi, penerimaan negara, tenaga kerja, efek ganda, usaha jasa, dll.
edpraso
sumber: