Pertaruhan Sumber Daya Mineral dan Batubara (3): Cara Pandang

Setelah di dalam UU Minerba mengamanatkan tentang pentingnya optimalisasi manfaat produk pertambangan melalui kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri bagi pelaku pertambangan, maka seyogyanya ini diikuti dengan beberapa hal penting.  Bahwa ke-depan Pemerintah akan fokus pada penggarapan atau pengintegrasian aspek bisnis proses pertambangan mulai dari potensi kegeologiannya sampai ke pengolahannya. Berkenaan dengan hal tersebut adalah penting untuk merubah cara pandang (mind set) dari pengelolaan pertambangan ke-depan. 

Cara pandang pertama, adalah dari sisi investasi. Selama ini investasi di pertambangan diasosiasikan dengan semata-mata seberapa besar investasi bisa di dapat dari kegiatan pertambangan di hulunya saja. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian bahan baku tambang di jual sebagai bahan mentah. Maka ke-depan hal ini harus diubah, investasi adalah totalitas investasi yang dikeluarkan mulai dari sisi kegeologiannyanya atau di hulunya sampai ke sisi pengolahan dan pemurniannya. Bahkan ke-depan sisi pengolahan harus mendapat porsi besar sebagai peluang baru yang seharusnya terus digali dan dipromosikan. Kita harus mampu bersaing dengan negara lain yang saat ini sudah bergerak maju di sisi pengolahan bahan tambang, padahal mereka bukanlah negara yang memiliki kekayaan alam cukup besar, contohnya Korea Selatan. Bahkan ke-depan investasi di sisi hulu sebaiknya dikendalikan dengan ketat, mengingat sudah cukup banyaknya para pemain di hulu ini, namun yang harus diketengahkan adalah peluang di sisi hilirnya. Terkait dengan ini tentunya adalah upaya untuk mendorong penelitian dan pengembangan serta membuat pilot plant pada perusahaan-perusahaan tertentu untuk nantinya dikembangkan menjadi skala komersial.

Cara pandang ke-dua, adalah dari sisi penerimaan negara. Selama ini penerimaan negara pertambangan di bagi menjadi penerimaan negara pajak (PNP) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Penerimaan ini terkait langsung dengan penerimaan dari sisi penambangannya, seperti royalti, deadrent dan pajak-pajak lainnya. Oleh karena itu cara meningkatkan penerimaan negara seperti yang tiap tahun harus selalu meningkat untuk menunjang biaya APBN yang juga terus meningkat adalah dengan mendorong produksi, padahal kebutuhan dalam negeri masih rendah. Maka sisanya pasti dikirim untuk ekspor. Bila suatu saat ada peningkatan harga komoditi seperti kejadian tahun 2008/2009 maka otomatis penerimaan negara meningkat dan ini sering dianggap sebagai prestasi padahal ini kental pengaruh faktor luar. Maka ke-depan sejalan dengan amanat UU Minerba, pandangan ini semestinya digeser. Penerimaan dari proses pengolahan hasil tambang juga mesti menjadi fokus utama. Sehingga yang dihitung bukan hanya dari royalti dan pajak-pajak lainnya ketika masih berupa bahan galian mentah saja. Apabila pengolahan hasil tambang sudah berkembang penerimaan negara akan berkembang juga.  Dalam banyak kasus di negara lain, hasil pengolahan tambang memiliki nilai ekonomi yang berlipat ganda dibandingkan dengan ketika masih berupa bahan mentah saja. Sebagai contoh, bijih besi dijual dengan harga sekitar 15-30 USD/ton, ketika menjadi konsentrat menjadi sekitar 50 USD/ton, setelah menjadi pig iron/billet harga bisa menjadi 250-450 USD/ton, lalu ketika menjadi baja batangan bisa menjadi sekitar 750-800 USD/ton, bahkan ketika menjadi baja ingot bisa menjacai 1000 USD/ton, dan seterusnya. Dari sini saja bisa dilihat besarnya potensi penerimaan negara dari penambahan nilai tambah bijih besi sampai menjadi baja.

Cara pandang ke-tiga, adalah dari sisi koordinasi bisnis proses. Sudah saatnya bahwa bisnis proses menjadi satu kesatuan dari hulu ke hilir yang secara ideal dapat ditangani oleh salah satu sektor saja, katakan saja ESDM. Faktanya memang tidak demikian, sehingga di dalam pelaksanaannya   faktor kerjasama dan koordinasi yang baik antar sektor adalah kunci keberhasilannya. Dengan kata lain bahwa pengembangan pertambangan tidak bisa lepas dengan pengembangan industrinya, harus jalan bersama-sama dari hulu ke-hilir.

edpraso

sumber: