Pertambangan yang Baik dan Benar: Tantangan Perubahan (7)
Saat Otonomi di Bidang Pertambangan Di berlakukan
Tahun 1997-1998 terjadi peristiwa yang mengguncang jagat perpolitikan, ekonomi dan tatanan hubungan pemerintahan di Indonesia yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Gerakan ini pada intinya di awali dengan terjadinya krisis moneter yang dimulai dengan hancurnya nilai tukar Bath di Thailand yang imbasnya secara luar biasa melanda sebagian besar kawasan Asia Tenggara dan Timur. Saat itu nilai tukar rupiah sempat merosot sampai Rp. 15.000 per US$. Untuk mengatasi krisis itu, Pemerintah Indonesia sempat meminta bantuan dana dari International Monetery Fund (IMF), dan pada tanggal 15 Januari 1998 Presiden Soeharto bersama Michel Camdessus, Direktur Pelaksana IMF, menandatangani Nota Kesepakatan (Letter of Intent), walaupun banyak persyaratan yang diajukan oleh IMF memberatkan Indonesia.
Peristiwa tersebut yang juga didorong dengan tantangan perubahan demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup juga telah membawa perubahan yang fundamental di dalam tatanan hubungan pemerintahan, yaitu dengan bergesernya pola pemerintahan dari sentralisasi dan desentralisasi. Hal ini diantaranya ditandai dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah diamandemen menjadi UU 32 tahun 2004, dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang telah di amandemen menjadi UU No 33 tahun 2004.
Secara mendasar pula terjadi pergeseran kewenangan pengelolaan pertambangan yang pada gilirannya nanti telah membawa sejumlah dampak baik positif maupun negatif. Pasal 10 ayat (1) UU 22/199 menyebutkan "Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Konsekuensi atas pasal ini adalah bahwa landasan pengelolaan usaha pertambangan umum yang semula diatur dengan PP No. 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, harus disesuaikan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tersebut.
Maka pada tahun 2001 terbit PP No. 75 Tahun 2001 tentang Perubahan PP No. 32 Tahun 1969, yang memberikan kewenangan pemberian izin dan pengawasan di bidang pertambangan sebagian besar beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten atau kota. Pada waktu PP No. 75 tahun 2001 terbit, banyak daerah kabupaten atau kota belum memiliki perangkat dinas pertambangan dan energi, meskipun semua pemerintah provinsi telah mempunyai dinas pertambangan. Di sisi lain, fungsi Kantor Wilayah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang terdapat pada propinsi di lebur menjadi perangkat Pemerintah Daerah.Di tingkat Pemerintah Pusat juga sempat terjadi pergeseran dengan dileburnya Direktorat Jenderal Pertambangan Umum dengan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, menjadi Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral pada tahun 2001. Peleburan ini pada dasarnya adalah untuk merespon perubahan yang terjadi dan memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola sebaik mungkin. Pemerintah pusat berfungsi dalam hal pembinaan yang intinya adalah dalam penyusunan norma, pedoman, standar dan kriteria (NPSK) di dalam pengelolaan pertambangan umum. Di dalam perkembangan selanjutnya Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral pada tahun 2005 di pecah kembali menjadi Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi dan Badan Geologi ESDM.
Permasalahan
Di dalam prakteknya ternyata muncul beberapa masalah terutama pada awal pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertambangan umum. Pertama, terdapat semangat yang luar biasa pada Pemerintah Daerah untuk penerbitan izin kuasa pertambangan yang dalam beberapa kasus sering sangat cepat prosesnya. Namun sayangnya seringkali dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan peraturan-perundangan yang berlaku, seperti UU No. 11 Tahun 1967, dan beberapa peraturan yang menyangkut Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), seperti diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982, PP No. 29 Tahun 1982, dan PP No. 52 Tahun 1991.
Ke-dua, sejumlah daerah mungkin mengalami permasalahan kemampuan sumberdaya manusia dan peralatan yang kurang siap, sehingga diantaranya menimbulkan terjadinya tumpang-tindih pemberian izin KP. Ke-tiga, pemberian sejumlah KP seperti kepada perusahaan kecil yang semula bertujuan mulia untuk pemerataan dan kesempatan berusaha seringkali kurang memperhatikan kemampuan keuangan dan teknis, sehingga potensi cadangan bahan tambang di wilayahnya terlantar dan bahkan seringkali tidak dapat menerapkan praktek penambangan yang baik dan benar, sehingga menimbulkan masalah pencemaran lingkungan dan tidak berjalannya program reklamasi.Dalam periode ini, lalu muncul sejumlah perizinan KP di daerah dalam jumlah yang besar. Di sisi lain, hanya sebagian kecil yang melaksanakan ketentuan dalam PP No. 75 Tahun 2001, bahwa pemerintah daerah seharusnya melakukan pelaporan perkembangan pengelolaan bidang pertambangan di daerahnya kepada pemerintah pusat. Upaya jemput bola yang dilakukan Pemerintah, diantaranya adalah dengan dilaksanakannya kegiatan inventarisasi perizinan KP di daerah, lalu yang cukup efektif adalah ketika dilakukan kerjasama dengan Tim OPN-BPKP untuk melakukan audit dan menginventarisir perizinan pertambangan yang diterbitkan di daerah.
(bersambung)
edpraso
sumber: