Pertambangan yang Baik dan Benar: Tantangan Perubahan (6)
Pertambangan Abad 16 sampai 20
Berbicara tertang pertambangan di Indonesia yang memiliki peran cukup besar saat ini, tidak bisa lepas dari sejarah perkembangannya. Sisa-sisa penambangan emas yang diperkirakan dilakukan oleh pendatang dari negeri Cina diperkirakan dilakukan abad ke 14 di Mandai dan Sambas, Kalimantan Barat. Bahkan di pesisir Sumatera diperkirakan penambangan emas rakyat sudah dilakukan pada abad ke 16. Hal ini seiring dengan perkembangan kerajaan di Sumatera, Jawa dan juga di negara lain, seperti Cina.
Dengan berjalannya waktu, perusahaan Belanda memulai penambangan semi modern sejak abad 19 dan awal abad ke-20, yaitu penambangan timah di Bangka dan Belitung dan Batubara di Sumatera. Beberapa bahan galian lainnya juga diketahui diusahakan pada era tersebut, seperti tembaga, nikel, posfat,belerang, dll. Selama periode ini, sejumlah perusahaan Belanda melakukan penelitian endapan bahan galian di Indonesia yang sebagian di publikasikan dalam Jurnal Geologi Leiden di Belanda. Perkembangan batubara, pada awalnya di dorong oleh penemuan mesin uap, dimana batubara menjadi bahan bakar utamanya.
Lahirnya UU 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
Memasuki era pembangunan yang dikenal dengan sebutan orde baru, mulai tahun 1966, semangat membangun sangat tinggi, dimana bahan galianmenjadi salah satu modalnya. Hal ini di awali dengan Tap MPR tahun 1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, yang akan membawa babak baru dalam perkembangan perekonomian Indonesia, dalam ketetapan dimuat pernyataan bahwa: (1) Kekayaan yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali, diolah, dan dimanfaatkan menjadi kekuatan ekonomi nyata; (2) Dalam usaha menanggulangi kemerosotan ekonomi dan membangun Indonesia, Pemerintah dapat memanfaatkan modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri; (3) Karena modal di dalam negeri terbatas, pemanfaatan modal dari luar negeri memerlukan landasan undang-undang mengenai penanaman modal asing dan modal dalam negeri, dan harus segera ditetapkan.Lahirnya UU 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, mengandung semangat tersebut. Berdasarkan UU ini, bagan galian di bagi menjadi 3 golongan: golongan A strategis, golongan B vital, dan golongan C yang tidak termasuk baik strategis maupun vital. Usaha pertambangan bahan galian strategis hanya dapat dilakukan oleh instansi pemerintah dan atau perusahaan milik negara. Usaha meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan.Usaha pertambangan bahan galian strategis dan vital hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan berdasarkan kuasa pertambangan (KP) yang diberikan dengan surat keputusan menteri.
Pemerintah juga bisa menunjuk kontraktor dalam suatu kontrak karya (KK) Pemegang Modal Asing (PMA) untuk pekerjaan yang belum atau tidak dapat ditangani sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara pemegang KP. Kontrak karya itu mulai berlaku sejak disahkan oleh Pemerintah sesudah berkonsultasi dengan DPR. Untuk menambang bahan galian yang cadangannya berukuran kecil, pemerintah memberikan kesempatan lebih luas kepada pihak swasta nasional dan rakyat secara perseorangan. Selama periode ini, sejumlah KK, PKP2B dan KP bermunculan, untuk mengambil kesempatan.
Pertambangan memang memiliki resiko tinggi, terbukti dari 236 perusahaan KK yang terdaftar, hanya 12 yang masuk tahap produksi, sejumlah 194 bahkan terkena terminasi dikarenakan berbagai alasan, diantaranya permodalan, potensi yang tidak memenuhi syarat, melanggar aturan, dll.
Di sisi lain, pada era ini sejumlah permasalahan yang muncul diantaranya dengan munculnya pertambangan tanpa izin (PETI) batubara pada pertengahan tahun 1990-an di Kalimantan Selatan, bermula dari wilayah sekitar ex-Chung Hua, sebuah perusahaan PKP2B yang telah diterminasi. PETI batubara menyebar di berbagai wilayah lainnya, seperti di Kalimantan Timur dan Sumetara Barat. Pemerintah tidak tinggal diam, sejumlah upaya telah dilakukan, hukuman telah dikenakan kepada sejumlah pelaku, namun hukum permintaan-penawaran (supply-demand) lebih kuat. PETI sulit diberantas, bahkan sempat menggurita dan menjadi keprihatinan bersama karena dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
(bersambung)
edpraso
sumber: