Perlu Tim Independen Audit PT Freeport

Perlu Tim Independen Audit PT Freeport

Suara Pembaruan, 8 Februari 2006

 

JAKARTA- Aktivitas penambangan tembaga dan emas di Provinsi Papua oleh PT Freeport Indonesia sejak tahun 1967 diduga telah mengakibatkan sejumlah kerusakan lingkungan, sehingga perlu dibentuk tim independen yang mengaudit kinerja perusahaan itu secara komprehensif.

Selain mengevaluasi tentang dugaan kejahatan lingkungan, tim itu juga harus mengevaluasi sejumlah masalah selama perusahaan itu beroperasi. Selama ini dinilai belum ada pengawasan dan kontrol yang independen oleh pemerintah.

"Pemerintah tidak hanya cukup menurunkan tim Proper (Program Peringkat Kinerja Perusahaan) saja. Dugaan yang terjadi adalah dugaan kriminalisasi sehingga tim yang dibentuk adalah tim yang bisa membuktikan ke arah itu," ujar Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Senin (6/2) malam.

Menurut Chalid, selain telah menimbulkan persoalan lingkungan, perusahaan ini juga telah menimbulkan permasalahan budaya, sosial, dan lainnya. "Sejak beroperasinya PT Freeport, telah terjadi penghancuran etnik secara besar-besaran terhadap tujuh suku yang ada di sana. Perang suku terjadi karena berebutan untuk mendapatkan dana dari PT Freeport," ujarnya. "Selain itu sampai saat ini belum terbukti perusahaan itu ikut menyejahterakan masyarakat Papua. Buktinya masih ada orang Papua yang kelaparan," tambah Chalid.

Penggelapan Pajak

Dalam rapat dengan pendapat itu, Komisi VII juga mengundang Jaringan Advokasi Tambang dan Dr Amien Rais sehubungan dengan pernyataannya tentang korupsi di sektor pertambangan.

Amien Rais menyatakan PT Freeport Indonesia telah melakukan tiga dugaan kejahatan. Pertama adalah perusakan lingkungan (ecocide), penjarahan kekayaan bangsa, dan penggelapan pajak. Tiga dugaan kejahatan itu harus bisa diselidiki oleh pemerintah, jika pemerintah ingin mengembalikan martabat bangsa.

Menurut Amien, selama ini sepertinya tidak ada martabat bangsa dalam kasus PT Freeport, karena pemerintah dengan mudahnya mengikuti kemauan perusahaan asal Amerika itu. "Seperti dalam masalah kontrak karya, sampai saat ini kontrak karya itu tidak jelas, padahal kekayaan negara adalah untuk kemakmuran bersama," ujarnya.

Amien mengakui bahwa PT Freeport Indonesia adalah perusahaan asal Amerika yang sebagian sahamnya dimiliki oleh bekas petinggi-petinggi di negara Paman Sam itu, sehingga lemahnya kontrol yang dilakukan oleh pemerintah tidak terlepas dari pengaruh politik Amerika.

Tembok

Saat ini Komisi VII DPR sudah membentuk panitia kerja (panja) untuk masalah PT Freeport. Namun sejumlah kalangan menilai panja ini tidak akan mencapai hasil maksimal, seperti tim-tim investigasi sebelumnya. "Kita tahu berhadap-hadapan dengan tembok yang besar, tetapi tidak boleh pantang mundur karena di sini adalah permasalahan kedaulatan dan martabat bangsa," ujar Amien.

Wakil Ketua Komisi VII Sonny Keraf pun menyatakan ada tembok berlapis yang mengadang untuk menyelidiki masalah ini. Misalnya, masalah data kandungan emas dan tembaga di wilayah itu. "Sampai saat ini tidak jelas berapa kandungan emas dan tembaga di wilayah itu, baik pemerintah maupun PT Freeport tidak mau memberikan data kepada kami. Hal ini karena dalam salah satu klausul kontrak karya menyebutkan data-data dalam pertambangan ini adalah rahasia," jelasnya.

Sementara itu pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Revrisond Bawsir menyebutkan bahwa PT Freeport dan perusahaan multinasional lain merupakan kepanjangan dari neokolonialisme di Indonesia. "Sangat memungkinkan sekali keberadaan PT Freeport di Indonesia merupakan hasil perjanjian kolonialisme pada saat itu, karena pada tahun 1967 sedang terjadi transisi rezim pemerintahan," jelasnya.

Menurut Revrisond permasalahan perusahaan itu bukan lagi permasalahan lingkungan, pelanggaran HAM, atau sosial dan budaya saja, tetapi sudah menjadi permasalahan besar bagi kedaulatan negara.

sumber: