Perizinan Di Indonesia Termahal Dan Terlama

 

Jakarta, BPost
Kebijakan perizinan satu atap (one roof service) yang dicanangkan pemerintah ternyata tak berjalan sesuai harapan. Perizinan di Indonesia termahal di dunia setelah Afrika. Selain itu, proses perizinan memakan waktu lama sehingga menyulitkan investor masuk ke Indonesia.

Itu sebabnya, kalangan pengusaha menganjurkan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai lembaga pemberi perizinan nasional diubah saja menjadi badan promosi.

"Mungkin bisa dipertimbangkan BPKM menjadi badan promosi saja dan perizinan diberikan kepada institusi dan lembaga yang memang kompeten," kata Ketua Kadin MS Hidayat usai seminar bertema investasi di Jakarta, Senin (8/11)

Para pengusaha juga berharap, wewenang perizinan diserahkan ke daerah. Namun khusus untuk investasi di sektor strategis, sebut Hidayat, masih harus ditangani oleh pemerintah pusat.

Selama ini, para pengusaha beranggapan, ada kontradiksi antara peraturan-peraturan di Pemerintah Daerah (Pemda) dengan kewenangan yang ada di BPKM. "Itu mesti diselesaikan segera. Review mengenai hal itu mesti dilakukan," tandasnya.

Hidayat bertutur, dia baru saja pulang dari China. "Di China saya saya bertemu dengan Menteri Perdagangan dan chamber of commerce (Kadin Cina) disana. Mereka mengatakan, hanya dalam waktu dua minggu, semua izin investasi bisa didapat," jelasnya.

Sementara di Indonesia, untuk mendapatkan izin, para pengusaha harus menunggu selama 150 hari. "Perbedaan antara biaya investasi di China dan Indonesia sangat beda sekali. (Indonesia) nomor satu termahal. Saya ada matriknya. Dari World Bank (Bank Dunia) kita punya matriknya. Kita termahal dan terlama," tandasnya.

Di dunia ini, imbuhnya, hanya negara Afrika saja yang biaya perizinannya lebih mahal dibanding Indonesia.

151 hari

Menurut survei Bank Dunia, untuk memulai usaha baru di Indonesia, diperlukan 12 prosedur dan memakan waktu 151 hari dengan biaya lebih dari 1.000 dolar AS atau lebih dari Rp9 juta (dengan perhitungan kurs Rp9.000 per dolar AS). Sementara di negara tetangga, rata-rata perizinan bisa diselesaikan kurang dari 50 hari dengan prosedur yang lebih sedikit dan biaya yang jauh lebih murah.

"Yang jadi masalah high cost (biaya tinggi). Jadi regulasi itu mesti disederhanakan, dibuat lebih fair (adil), lebih kompetitif dibandingkan negara-negara lain. Paling nggak, sama lah," pinta Hidayat.

Dia menilai, berbelit-belitnya masalah perizinan membuat investasi di Indonesia tak bertumbuh. "Tahun lalu investasi yang masuk ke China mencapai 50 miliar dolar AS. (Sementara) Indonesia nol, bahkan mengalami pertumbuhan negatif," katanya.

Di tempat sama, pengamat ekonomi Faisal Basri juga berpendapat agar BPKM sebaiknya dihilangkan atau dilebur dengan lembaga lain. Jika BKPM nantinya difungsikan sebagai badan promosi, misalnya promosi ekspor, sebaiknya badan yang dipimpin Theo F Toemion itu digabung dengan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN).

"Setelah diubah menjadi badan promosi, nantinya BPKM bisa mempromosikan produk-produk buatan Indonesia seperti mebel, rotan dan produk lainnya, seperti pariwisata," kata Faisal.

sumber: