Perekonomian mulai mengarungi ketidakpastian
(Bisnis Indonesia)Kabar kurang menyenangkan kini sedang menerpa perekonomian Indonesia. Beberapa indikator makro ekonomi yang sebelumnya dibanggakan pemerintah sebagai sebuah prestasi terus mengalami tekanan.
Kurs rupiah selama April ini terus mengalami pelemahan. Jika pada penutupan Jumat (7 Mei) rupiah melemah ke posisi Rp8.693/US$, pada Senin (10 Mei) rupiah melemah lagi menjadi Rp8.965/US$ (Bisnis, 11 Mei 2004).
Padahal, menurut Bank Indonesia (BI) rentang yang aman adalah Rp8.200-Rp 8.700 per US$.
Selain rupiah, kondisi pasar saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ), juga diwarnai tekanan jual. Setelah IHSG mencapai titik tertinggi, yaitu di level 818,159 pada 27 April karena euforia atas pelaksanaan pemilu legislatif pada April lalu, kini pelaku bursa terus melakukan aksi ambil untung (profit taking).
Implikasinya, IHSG terus mengalami penurunan. Pada perdagangan 7 Mei, IHSG berada pada level 743,637 dan pada Senin (10 Mei) IHSG berada di level 707,22. Dalam seminggu pertama, IHSG terkoreksi hingga 5,1% atau terdalam dibanding koreksi di bursa regional. Beberapa analis bursa memprediksikan IHSG bisa jadi akan terus meluncur ke bawah dengan target titik bawah selanjutnya di level 700.
Kondisi yang menimpa pasar uang dan pasar modal tadi semakin membuktikan bahwa stabilitas finansial yang dicapai saat ini adalah stabilitas yang di-drive oleh faktor eksternal (externally-driven stability), meski harus diakui ada faktor internal yaitu kebijakan moneter (BI) yang turut membantu terciptanya stabilitas finansial. Apa faktor eksternal yang telah turut menciptakan stabilitas finansial tersebut?
Pertama, adalah anjloknya nilai tukar US$ yang sudah terjadi sejak dua tahun lalu dan berlanjut karena Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) tidak mendukung strong US dollar policy.
Kedua, adanya pinjaman IMF untuk tambahan cadangan devisa memberikan ilusi seolah kita stabil secara finansial. Ketiga, yield dalam US$ yang sangat rendah di luar negeri mendorong short-term capital flow yang bakal sangat fluktuatif. Tingkat bunga di AS saat ini sangat rendah, terendah sejak 1958.
Nah, kini setelah berbagai fasilitas eksternal tersebut dicabut, semakin nyata bahwa perbaikan dalam stabilitas finansial dan makro ekonomi kita adalah semu. Terbukti, ternyata pelemahan rupiah yang terjadi saat ini berbarengan dengan menguatnya kembali US$ terhadap hampir seluruh mata uang global. Terlebih lagi, saat ini The Federal Reserve (the Fed) berencana akan menaikkan tingkat suku bunga The Fed Fund Rate (FFR).
Beberapa pejabat mengatakan bahwa pelemahan rupiah itu hanya bersifat sementara. Sejauh mana pernyataan ini benar, jawabannya akan sangat tergantung pada bagaimana perkembangan situasi internal dan eksternal perekonomian Indonesia serta respons otoritas (BI dan pemerintah) dalam menyikapi perkembangan tersebut.
Faktor internal
Sejauh ini perkembangan internal kurang memperlihatkan kondisi menggembirakan. Perekonomian Indonesia masih dihantui gejala de-industrialisasi. Terlebih lagi, sejumlah lembaga survei internasional memberikan prediksi yang kurang menggembirakan bagi perekonomian Indonesia. Misalnya, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyebutkan bahwa pada 2004-2007 Indonesia masih belum menjadi tempat yang menarik bagi investasi.
Bank Dunia juga menyebutkan bahwa ditengah derasnya nilai FDI ke Asia Timur selama 2003 yang mencapai US$62 miliar, atau US$1,5 miliar lebih tinggi dari tahun 2002, ternyata aliran FDI itu belum dinikmati Indonesia, karena selama periode 2001-2003, justru rata-rata minus US$1,8 miliar.
Perkembangan makroekonomi Indonesia memasuki kuartal II tahun ini juga mulai terganggu. Tingkat inflasi April sebesar 0,97% merupakan kenaikan tertinggi dalam enam bulan terakhir.
Meski data inflasi tahun kalender Januari-April 2004 baru mencapai 1,89% dan inflasi dari tahun ke tahun (April 2003-April 2004) sebesar 5,92%, namun dikhawatirkan target inflasi 2004 sebesar 6,5% tak bisa tercapai.
Pemilu presiden yang diduga akan berlangsung dalam dua babak akan memberikan kontribusi peningkatan konsumsi sehingga menyebabkan inflasi akan meningkat di atas target 6,5%.
Begitu pula dengan surplus perdagangan pada Maret 2004 yang turun menjadi US$1,94 miliar dari US$2,19 miliar pada Maret 2003. Sementara itu, ekspor tidak bergerak dari level US$5,07 miliar, dan nilai impor naik menjadi US$3,13 miliar dari US$2,88 miliar.
Selain faktor ekonomi, situasi politik dan keamanan dalam negeri juga mulai tidak kondusif bagi pelaku ekonomi. Sejumlah kerusuhan di Ambon, Makassar, dan sejumlah teror bom yang terjadi di beberapa daerah telah turut memperkeruh situasi politik yang tentunya ikut mempengaruhi iklim ekonomi dan investasi. Terlebih lagi, pemerintah juga terlihat lambat dalam menyelesaikan berbagai problem keamanan tersebut.
Ditambah lagi arah politik menjelang suksesi kepemimpinan yang kian tak jelas dan tidak adanya koalisi yang kuat, telah membuat pelaku ekonomi ragu pemerintahan baru dapat mempertahankan stabilitas politik. Berbagai manuver politik yang akan dilakukan para capres dan cawapres, tentunya juga akan mempengaruhi kinerja perekonomian di Indonesia.
Faktor eksternal
Faktor eksternal juga berpotensi memperlambat kinerja perekonomian Indonesia. Faktor AS dan China, dalam jangka pendek ini akan terus menjadi sorotan para pelaku ekonomi di Indonesia.
AS disorot sehubungan dengan rencana the Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga AS. Sedangkan Cina disorot sehubungan dengan rencana untuk menurunkan tingkat pertumbuhan ekonominya.
Sebagaimana diberitakan Bisnis, 6 Mei, the Fed telah mengubah janji untuk bersabar menaikkan suku bunga dengan janji akan menaikkan suku bunga secara bertahap. Faktor terpenting yang telah mengubah pendirian the Fed adalah kinerja ekonomi AS yang menunjukkan kecenderungan membaik.
Pertumbuhan ekonomi sampai tahun ini diperkirakan sedikit di atas 4%. Pada periode Januari-Maret 2004, angka pengangguran rata-rata sebesar 5,7% atau lebih rendah dibandingkan dengan angka pengangguran periode Juni-September 2003 yang merupakan titik tertinggi, yaitu 5,9%. Setelah mengalami deflasi pada Oktober sampai Desember 2003, ekonomi AS mulai mengalami tekanan inflasi sejak bulan Januari.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi di Cina. Merasa bahwa perekonomiannya sudah overheated, pemerintah Cina merasa perlu mengambil kebijakan untuk menekan laju pertumbuhan ekonominya.
Cina telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang fantastis dengan angka sekitar 10% per tahun selama dua dekade lebih. Pertumbuhan ekonomi Cina tahun 2003 mencapai 9,1%. Tahun ini pertumbuhan ekonomi Cina diperkirakan turun menjadi 8,5% dan tahun 2005 diperkirakan 8%.
The Fed sebenarnya telah berbaik hati kepada para pelaku ekonomi, tidak hanya di AS tetapi juga di seluruh negara, terutama negara-negara emerging market. Menyadari bahwa AS adalah jangkar perekonomian dunia dan menyadari bahwa dampak kebijakan kenaikan suku bunga lebih berbahaya bagi perekonomian dibandingkan kebijakan penurunan suku bunga, terutama bagi perbankan AS dan the emerging market, maka jauh hari sebelum kebijakan tersebut diambil, the Fed telah mengumumkannya.
Sebagaimana diketahui bahwa rencana the Fed akan menaikkan tingkat suku bunga FFR telah diumumkan sejak 20 April lalu. Dengan demikian, the Fed sebenarnya ingin memberikan rentang waktu bagi para pelaku ekonomi di seluruh dunia untuk mempersiapkan diri dengan berbagai kebijakan antisipatif.
The Fed tampaknya kini ingin lebih berhati-hati untuk menghindari kejadian seperti 1994. Pada 1994, the Fed melakukan kebijakan kenaikan suku bunga sebanyak tujuh kali hanya dalam waktu setahun, hingga menjadi 6%.
Maka, akibat kebijakan beruntun tersebut telah memicu terjadinya "bencana finansial", tidak hanya di AS, tetapi juga di Meksiko sehingga Meksiko terjebak dalam krisis yang sangat parah pada akhir 1994.
Namun demikian, meski AS telah sejak dini memperingatkan kepada pengambil kebijakan di sini, tetap saja kebijakan the Fed tersebut akan berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
Perlu diketahui karakteristik perekonomian Meksiko sebelum krisis 1994, sesungguhnya mirip dengan perekonomian Indonesia saat ini. Yaitu, sektor finansialnya sangat rentan karena banyak didominasi oleh investasi jangka pendek (portofolio) yang sangat spekulatif. Dengan demikian, jika AS kembali menaikkan tingkat suku bunga FFR-nya, dapat dipastikan akan terjadi capital outflow.
Pertanyaannya selanjutnya, seserius apakah pengaruh kebijakan the Fed tersebut bagi sistem finansial kita? Jawabannya sangat tergantung dari kebijakan antisipatif yang akan diambil pihak otoritas.
Kalau kenaikan suku bunga FFR harus diikuti dengan kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), pertanyaannya adalah apakah kebijakan kenaikan suku bunga SBI tersebut masih efektif?
Fakta menunjukkan bahwa meski suku bunga SBI terus diturunkan (terakhir tinggal 7,25% untuk 3 bulan), tetap saja tidak memperbaiki proses transmisi kebijakan moneter dalam rangka memperbaiki fungsi intermediasi. Indikasinya, BI masih mengalami ekses likuiditas yang diparkir perbankan di BI sebesar Rp165 triliun (per akhir Februari 2004).
Fakta lain menunjukkan bahwa meski BI telah menaikkan menaikkan suku bunga penjaminan menjadi 7,25%, namun hal tersebut tidak direspon oleh bank-bank besar untuk menaikkan suku bunga deposito. Penyebabnya adalah bank-bank besar itu umumnya masih mengalami kelebihan likuiditas karena masih seretnya penyaluran kredit (Bisnis, 6 Mei).
Berbagai fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter saat ini cenderung tidak efektif, karena adanya hambatan yang bersifat struktural baik itu di sektor perbankan maupun di sektor riil.
Bagaimana dampak kebijakan pemerintah Cina yang hendak menekan pertumbuhan ekonominya? Saat ini saja, ketika pemerintah Cina mengumumkan kebijakan tersebut, harga saham di Asia Pasifik langsung berguguran mencapai titik terendah sepanjang tahun 2004, terutama setelah pemerintah Cina segera menaikkan suku bunganya guna memperlambat pertumbuhan.
Di pasar valuta Asia juga terjadi guncangan sehubungan dengan rencana China tersebut yang diperkirakan akan menjadi faktor buruk bagi mata uang kawasan.
Mengapa kebijakan pemerintah Cina tersebut direspons negatif oleh para pelaku pasar modal dan pasar uang? Jawabnya adalah perlambatan ekonomi Cina bakal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jepang. Melemahnya ekonomi Cina juga akan membuat perekonomian kawasan melemah karena sebagian besar ekspor produk manufaktur diarahkan ke Cina. Situasi ini pada akhirnya akan memukul pendapatan dari perusahaan-perusahaan terutama yang berorientasi ekspor, termasuk dari Indonesia.
Pertaruhan besar
Dari berbagai analisis di atas menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia, setidaknya selama 2004, menghadapi situasi ketidakpastian. Taruhan yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia atas perkembangan internal dan eksternal tadi begitu besar. Ini mengingat, berbagai instrumen kebijakan moneter dan fiskal diperkirakan tidak akan efektif dalam meredam berbagai implikasi negatif dari faktor internal dan eksternal tersebut.
Dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia selama 2004 sangat bergantung dari "kebaikan budi" dari para politisi, pelaku pasar, dan juga faktor eksternal. Dari internal, kita berharap agar para politisi tidak membuat manuver-manuver yang memperkeruh situasi politik dan keamanan.
Kemudian, kita juga berharap bahwa para pelaku pasar memiliki sedikit "nasionalisme" untuk tidak berlebihan dalam menyikapi perkembangan internal dan eksternal tersebut.
Lalu bagaimana dengan perkembangan perekonomian Indonesia 2005?
Tentu, sangat tergantung dari kepemimpinan dan pola kebijakan ekonomi yang akan diambil. Jika ternyata, dalam Pemilu Presiden masih menghasilkan pemimpin dengan pola kebijakan ekonomi yang sama, penulis berpendapat situasi perekonomian Indonesia akan terus dibayangi situasi ketidakpastian seperti saat ini. Karena faktanya, pola kebijakan ekonomi saat ini hanya mampu menciptakan stabilitas perekonomian yang semu.
Dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia tahun 2004 menjadi ajang pertaruhan besar. Jika kita bisa melewati masa-masa sulit di tahun 2004 ini dan mampu menghasilkan pemimpin yang lebih kredibel dengan pola kebijakan ekonomi yang lebih menjanjikan, di tahun-tahun berikutnya perekonomian Indonesia memiliki peluang untuk menjungkirbalikkan berbagai prediksi negatif yang dikeluarkan sejumlah lembaga survei internasional di atas.
sumber: