Peraturan Izin Pertambangan di Hutan Lindung Dinilai Memberatkan

Peraturan Menhut untuk Menekan Dampak Negatif Pertambangan Ekstraktif

Suara Pembaruan, 27 November 2004 - JAKARTA - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) meminta Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban merevisi peraturan mengenai penggunaan kawasan hutan lindung untuk pertambangan, yang dikeluarkan oleh Menhut sebelumnya, M Prakosa. Peraturan tersebut dinilai sangat memberatkan karena memuat persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi perusahaan yang mengajukan izin menambang di kawasan hutan lindung.

Ketua Bidang Profesi Perhapi, Koesnaryo mengatakan, Peraturan Menhut No 12 Tahun 2004 itu justru akan menghambat membaiknya investasi di sektor pertambangan. Sejumlah aturan yang ditetapkan dalam peraturan tersebut, menurut dia, sangat mustahil bisa dipenuhi oleh perusahaan.

Salah satu persyaratan yang dinilai memberatkan, menurut Koesnaryo, misalnya, mengenai lahan kompensasi yang harus disiapkan oleh perusahaan yang akan menambang di kawasan hutan lindung. Permintaan luasan lahan kompensasi yang harus sama persis atau bahkan dua kali lipat dengan luasan kawasan hutan yang akan ditambang, dinilainya, terlalu mengada-ada.

Dia menambahkan, pemerintah seharusnya membuka mata bahwa sebagian besar wilayah pertambangan, terutama di Indonesia bagian timur, berada di dalam kawasan yang berstatus hutan lindung. Padahal jika melihat kondisi hutan di kawasan tersebut tidak layak untuk disebut hutan lindung.

Oleh karena itu, Perhapi meminta Menhut MS Kaban mengkaji kembali PerMenhut No 12 tahun 2004 dengan menyandingkannya dengan peraturan-peraturan yang ada, terutama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 tahun 2004 tentang Kehutanan yang telah disetujui menjadi UU.

Selain itu, Menhut juga harus melihat fakta di lapangan, bahwa kawasan yang akan menjadi wilayah kerja pertambangan itu tidak memenuhi persyaratan sebagai hutan lindung.

Sementara itu, menurut Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan, Transtoto Handadhari, PerMenhut No 12 tahun 2004 dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha bagi 13 perusahaan yang diperbolehkan melanjutkan izin menambang di hutan lindung sesuai Keppres No 41 tahun 2004 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan Lindung.

Meski telah mengantongi kontrak karya dan izin melanjutkan kegiatan, ke-13 perusahaan itu tetap harus mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung kepada Menhut sebelum operasional penambangan dimulai. Menhut mengeluarkan aturan main pinjam pakai tersebut, lengkap dengan persyaratan dan kompensasi yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan.

Antisipasi Dampak

Ketentuan mengenai kompensasi maupun aturan lain yang ada dalam PerMenhut itu, menurut Transtoto, dimaksudkan sebagai antisipasi atau upaya menekan dampak negatif yang dapat terjadi akibat kegiatan pertambangan yang ekstraktif. Persyaratan mengenai lahan kompensasi, menurut Transtoto, sudah tidak bisa ditawar lagi.

Dia mencontohkan, perusahaan yang akan menambang di areal hutan lindung seluas 100 hektare (ha), misalnya, juga harus menyediakan lahan seluas 100 ha di wilayah lain dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sama dan harus ditanami pohon.

Pada provinsi yang luas kawasan hutannnya kurang dari 30 persen luas daratan, perusahaan harus menyediakan lahan kompensasi dua kali kawasan hutan lindung yang dipinjampakaikan. Sedangkan jika luasan hutan di provinsi itu dari lebih 30 persen, pemohon (perusahaan) hanya menyediakan lahan kompensai dengan luasan sama seperti luas lahan yang dipinjampakai. Lahan tersebut dimaksudkan sebagai lahan pengganti hutan lindung yang dibuka.

Selain menyediakan lahan kompensasi, perusahaan pemegang izin penambangan juga wajib membayarkan Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (DR-PSDH) sesuai nilai kayu yang ditebang dari kawasan hutan lindung yang akan ditambang. Pembayaran itu merupakan ganti rugi atas kerusakan (kayu).

sumber: