Penghematan energi dalam 25oC, mungkinkah?

Penghematan energi dalam 25oC, mungkinkah?

Bisnis, 28 Juli 2005

 

We have only two modes - complacency and panic. Kata-kata di atas diucapkan oleh James R. Schlesinger, Menteri Energi AS yang pertama pada 1977, ketika menggambarkan kebijakan energi negeri itu. Kita bisa saksikan bersama bahwa Indonesia pun ternyata tidak jauh berbeda dengan AS dalam pendekatannya terhadap energi.

Secara umum, pengkondisian udara (air-conditioning) dilakukan dengan mengkondisikan udara dari luar-bisa dipanaskan (untuk heating mode seperti di negeri-negeri dingin) atau didinginkan (untuk cooling mode seperti halnya di Indonesia)-sehingga udara yang disemburkan ke dalam ruangan mencapai kondisi set-point (temperatur dan kelembaban) yang diinginkan.

Konsumsi energi terutama dipakai untuk mengkondisikan udara luar itu. Semakin tinggi perbedaan udara luar dengan kondisi ruangan yang diinginkan (misalnya udara luar sangat panas sekitar 35 ?C, sedangkan kondisi yang diinginkan 20 ?C), akan semakin tinggi konsumsi energi untuk pengkondisian udara.

Dari penjelasan di atas, kita bisa lihat bahwa ada dua cara yang paling mudah untuk memotong konsumsi energi: (1) mengubah set-point dan (2) memotong suplai udara dari luar. Sekali lagi, ini adalah cara mudah (quick-fix), yang bila dilakukan tanpa mempertimbangkan factor-faktor lain hanya akan menghasilkan masalah dalam jangka panjang, sekaligus menunjukkan kekalapan kita untuk segera menghemat energi.

Kekalapan AS dan negara-negara barat lainnya ketika menghadapi krisis energi di era 1970-an tampak dalam pilihan mereka untuk menghemat energi. Yang dilakukan adalah cara kedua di atas yaitu dengan membuat bangunan menjadi kedap udara (airtight), serta meniadakan pasokan udara segar dari luar. Udara di dalam bangunan di daur ulang terus menerus.

Seharusnya udara dari dalam bangunan harus dibuang (sebagian atau seluruhnya) karena dalam perjalannya udara tersebut telah terkotori oleh berbagai kontaminan, baik kontaminan alami (CO2 sisa pernapasan manusia) ataupun kontaminan lain yang dihasilkan dari aktivitas di dalam bangunan.

Bila bangunan dibuat kedap udara, atau pasokan udara segar dari luar ditiadakan, udara yang dari dalam bangunan yang seharusnya dibuang terpaksa dimasukkan kembali sebagai langkah penghematan. Langkah ini memang dapat menghemat energi karena udara buangan kondisinya (temperatur dan kelembabannya) tidak jauh berbeda dengan udara di dalam ruangan. Tetapi efek sampingnya adalah turunnya kualitas udara di dalam ruang.

Akibatnya di negara-negara barat pada 1980-an kita melihat meledaknya kasus-kasus Sindrom Bangunan Sakit (Sick Building Syndrome) dan merebaknya penyakit yang terkait dengan bangunan atau BRI (building-related illness). Penghuni dan pengguna bangunan terkena berbagai penyakit yang berkaitan dengan bangunan. Konsekuensi logis dari keadaan itu adalah anjloknya produktivitas pekerja karena permintaan izin sakit meningkat dan juga kondisi ruang kerja yang tidak nyaman.

Pelajaran yang bisa kita dapat dari pendekatan kalap yang dilakukan oleh negara-negara barat ketika krisis energi pada era 1970-an itu adalah bahwa penghematan energi tidak bisa dilakukan dengan hanya mengatur satu parameter saja. Di periode tersebut parameter yang dibatasi adalah jumlah pasokan udara segar.

Di abad baru ini, Presiden kita berupaya menghemat energi dengan membatasi temperatur udara, ditambah dengan pembatasan pencahayaan yang pada intinya merupakan cara (1) seperti yang dikemukakan di awal artikel ini. Saya khawatir, kalau hal ini tidak segera diperbaiki, maka kita bisa mendapatkan apa yang telah didapat oleh negara-negara Barat di era 1980-an tersebut, yaitu menurunnya produktivitas pekerja.

Jangan salah sangka, saya tetap yakin bahwa pendekatan yang dipilih oleh Presiden, yaitu dengan menaikkan set-point, akan berhasil menghemat energi. Tetapi ini baru setengah dari cerita, dan bila kita mengabaikan paruh lain dari cerita ttg penghematan energi, maka sesungguhnya kita sudah kalap.

Beraktivitas optimal

Yang pertama harus diluruskan adalah bahwa dalam konteks bangunan, tujuan kita bukan hanya menghemat energi. Bila tujuannya hanya menghemat energi, maka membatasi pendingin ruangan dan mematikan lampu bisa menjadi langkah yang efektif. Tapi dalam konteks bangunan kita juga ingin mencapai suatu keadaan di mana penghuni dapat beraktivitas dengan optimal, apapun aktivitas yang dijalankannya sesuai dengan fungsi bangunan. Keadaan itulah yang secara generik disebut sebagai kenyamanan.

Hemat energi dan kenyamanan penghuni adalah dua sisi mata uang. Pendekatan yang mengabaikan salah satu sisi, pasti akan menghasilkan masalah di kemudian hari.

Temperatur udara memang merupakan salah satu parameter kunci dalam penghematan energi. Menaikkan temperatur set-point pendingin ruangan sebanyak 1 ?C saja bisa menghemat energi yang cukup signifikan. Tetapi pada saat yang bersamaan, temperatur udara juga merupakan parameter penting dalam mencapai kenyamanan termal. Dan sayangnya, hal inilah yang tidak terbahas diskusi beberapa hari terakhir ini. Padahal kenyamanan termal mempunyai hubungan langsung dengan kenyamanan kerja.

Menaikkan temperature set-point menjadi 25 ?C seperti anjuran Presiden seharusnya dilihat secara lebih menyeluruh kaitannya dengan parameter lain. Presiden sendiri sudah menunjukkan contoh bagaimana cara meresponsnya yaitu dengan menggunakan pakaian yang lebih ringan. Tetapi masalahnya, 25 ?C dan pakaian batik barangkali cukup nyaman untuk dipakai pada acara jumpa pers, tapi mungkin tidak cukup nyaman untuk dipakai duduk bekerja selama delapan jam.

Kenyamanan termal, seperti yang didefinisikan oleh Standar ISO, adalah hubungan yang kompleks antara temperatur, kelembaban, dan kecepatan udara, ditambah lagi dengan jenis pakaian dan aktivitas serta tingkat metabolisme penghuni. Dapat dilihat bahwa temperatur udara hanyalah salah satu parameter.

Bila parameter ini diubah, maka perlu dilakukan perubahan pula pada parameter yang lain. Mengganti jenis pakaian adalah salah satu bentuk adaptasi yang bisa dilakukan, tapi mungkin itu tidak cukup.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa langkah-langkah penghematan energi tanpa diiringi dengan langkah-langkah untuk menjaga kenyamanan penghuni (untuk mencapai produktivitas yang tinggi) adalah langkah yang sia-sia dalam jangka panjang. Kenyamanan dan produktivitas adalah dua kata kunci yang hilang dalam diskusi hemat energi dalam beberapa hari terakhir ini.

Bila dua hal ini tidak segera dimasukkan ke dalam pertimbangan, saya khawatir penghematan yang kita dapatkan dari tagihan listrik ternyata harus ditebus dengan turunnya pendapatan yang diakibatkan dari turunnya produktivitas pekerja. Bukannya menghemat, malah akhirnya akan merugi

sumber: