Penggunaan Batu Bara Masih Menghadapi Banyak Kendala

Penggunaan Batu Bara Masih Menghadapi Banyak Kendala

Kompas, 2 Agustus 2005

Bandung, Kompas - Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar industri masih menghadapi banyak kendala. Padahal, di tengah lonjakan harga minyak mentah yang mencapai 61 dollar AS, pemerintah terus mendorong penggunaan batu bara sebagai energi alternatif. Apalagi, cadangan batu bara Indonesia sekitar 19,3 miliar ton.

Di satu sisi, pencemaran lingkungan dikhawatirkan memicu gejolak sosial. Di lain pihak, pengusaha industri masih bingung atas peliknya distribusi batu bara ke pabrik-pabrik.

Berbagai kendala itu mengemuka dalam diskusi penggunaan batu bara sebagai energi alternatif bersama Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar di Pabrik Tekstil PT Panasia Indosyntec di Bandung, Jawa Barat, Senin (1/8).

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat Lili Asdjudiredja mengatakan, ketidakpahaman masyarakat terhadap teknologi batu bara kerap menimbulkan sikap penolakan. Untuk itu, kunci terpenting adalah sosialisasi.

Menurut Lili, kendala lain berupa sistem pengiriman batu bara. Pasokan batu bara dari Kalimantan dikirim terlebih dulu ke Cirebon, Jawa Barat. Sewaktu pengiriman stok batu bara, masyarakat cenderung menolak. Batu bara dinilai mencemarkan lingkungan.

Padahal, lanjut Lili, batu bara harus didistribusikan ke daerah-daerah industri. Setiap hari pembangkit listrik industri tersebut membutuhkan 50 truk besar untuk mengangkut batu bara. Biaya pengiriman semakin mahal karena pungutan liar terjadi dalam perjalanan.

�Saat ini sekitar 60 dari 900 pengusaha tekstil sudah memiliki tungku batu bara. Bila diolah secara benar, polusi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara tidak merusak lingkungan, bahkan dapat dikumpulkan dan dijual ke pabrik semen,� kata Lili.

Direktur PT Panasia Indosyntec Suwadi Bing Adi menjelaskan, limbah batu bara masih dianggap bahan berbahaya dan beracun (B3). Itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Penanganan Limbah. �Sebetulnya kalau dibakar dengan benar, asap hasil pembakaran tidak masalah,� katanya.

Suwadi menuturkan, dahulu setiap bulan perusahaannya memerlukan solar sebanyak 1,8 juta liter. Saat ini perusahaannya hanya membutuhkan batu bara 3.800 ton per bulan. Ketika menggunakan BBM, pabrik itu menghabiskan sekitar Rp 4,56 miliar. Pemakaian batu bara dapat menekan 75 persen, atau butuh biaya Rp 1,14 miliar.

Menperin Andung Nitimihardja mengatakan, pemerintah akan mencari upaya agar batu bara dapat digunakan secara luas, tanpa menimbulkan dampak lingkungan. �Bila batu bara menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, kita akan selesaikan masalah itu,� ucapnya.

Soal pandangan batu bara sebagai B3, Menneg LH Rachmat Witoelar mengatakan, sejauh ini penggunaan batu bara harus memerhatikan standar tertentu. Masyarakat tidak boleh langsung memvonis dampak lingkungannya karena Menneg LH juga menerjunkan pengawas lapangan.

�Pembahasan penggunaan batu bara sebagai bahan bakar alternatif ini akan saya ajukan dalam rapat kabinet,� kata Rachmat.

sumber: