Penggunaan batu bara bermutu kurang strategis
JAKARTA (Bisnis): Pemanfaatan batu bara muda atau rendah kalori di Indonesia dinilai belum maksimal. Padahal, dari 50 miliar ton sumber daya mineral batu bara yang tertanam di perut bumi Nusantara, 75% di antaranya adalah batu bara rendah kalori. Saat ini terbuka peluang memanfaatkan komoditas itu untuk pembangkit listrik dengan harga rendah.
Berkaitan dengan persoalan itu, Bisnis belum lama ini mewawancarai Presdir PT Triaryani, salah satu perusahaan pemilik konsesi tambang batu bara, Teddy Setiawan. Berikut petikannya.
Seberapa besar peluang keekonomisan pemanfaatan batu bara muda itu?
Besar. Ini kalau dilihat dari segi kepentingan ekonomi nasional kita. Coba hitung berapa besarnya potensi devisa yang terbakar dari pemakaian batu bara kualitas tinggi di sistem pembangkitan listrik kita. Seharusnya itu kan bagusnya untuk diekspor. Nah, untuk tujuan itu, maka cobalah kita mulai lebih melirik batu bara muda untuk keperluan energi primer kita. Kita kan sudah tahu bahwa 75% dari cadangan batu bara itu adalah batu bara jenis itu.
Apakah kita sudah cukup siap untuk lebih fokus dalam memakai batu bara muda itu?
Kenapa tidak. Dalam hal ini yang terpenting itu adalah perseoalan ketersediaan teknologinya. Sejauh ini kita sudah punya teknologi itu, apalagi teknologi yang paling canggihpun kalau dibutuhkan untuk kepentingan ini bisa saja kita adopsi atau kita bayar dari luar.
Tapi tentu tetap dalam kerangka harga kompetitif dan efisien. Cukup banyak negara yang menawarkan teknologi semacam ini. sebut saja Jepang dan Amerika Serikat. Sekarang yang terkenal itu adalah teknologi upgraded brown coal (UBC). Dan yang terpenting, saya yakin tenaga ahli juga cukup tersedia di dalam negeri untuk mendukung usaha ini.
Tapi, bagaimana dengan persoalan lingkungan karena ada kekhawatiran mendalam soal dampak penceraman yang ditimbulkannya?
Dari segi keselamatan lingkungan tidak menjadi masalah. Seperti yang saya sampaikan bahwa teknologi untuk masalah lingkungan ini juga sudah tersedia jika kita memang mau membangunnya. Artinya tidak ada masalah sama sekali dengan ratifikasi Protokol Kyoto yang mensyaratkan persoalan lingkungan.
Bahkan sangat besar peluang kita menjual Certified Emission Reduction Units dalam program CDM-nya (Clean Development Mechanism) ke negara-negara maju karena teknologinya akan menjadi teknologi ramah lingkungan.
Apakah Indonesia sudah membutuhkan kebijakan energi seperti itu?
Sudah sangat butuh malah. Permintaan listrik nasional terus menunjukkan kenaikan yang berarti makin perlu pula upaya meningkatkan penyediaannya.
Di sisi lain, kalau kita terus memaksa menggunakan energi primer seperti minyak bumi dan batu bara kualitas tinggi sebagai sumber produksi listrik, maka tentu tidak strategis.
Padahal harga kedua komoditas itu terus meningkat di pasar internasional. Jadi sudah dalam dilema seperti ini terlihat memang kita sudah butuh untuk memakai lebih banyak batu bara muda itu.
Hal ini juga sejalan dengan harapan agar batu bara dapat mengganti peran minyak bumi. Alasannya, sumber daya batu bara muda di Indonesia sangat besar, sehingga bisa lebih lama memberikan jaminan ketersediaan pasokannya.
Arah pemanfaatannya kemana?
Sekarang di Indonesia kan sudah mulai dirintis proyek PLTU [pembangkit listrik tenaga uap] Mulut Tambang yang memang targetnya batu bara muda.
Dengan perkembangan teknologi batu bara bersih yang berkembang cukup pesat saat ini, maka akan mampu menjadikan komoditas ini menjadi sumber energi primer andalan.
Bagaimana dengan masalah harga?
Berdasarkan perhitungan yang pernah dibuat oleh konsultan dari Jepang, pemanfaatan batu bara muda untuk pembangkitan listrik bisa menawarkan harga jual di bawah US$0,04 per kWh.
Ini adalah harga yang jauh lebih murah dari harga yang diberikan oleh listrik swasta yang selama ini dibeli PLN.
Setidaknya, ini menunjukan tingkat kompetisi yang cukup bagus dari batu bara muda yang selama ini sedikit terabaikan.