Pencemaran Air Butuh Perhatian (1)

Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan air tanah di Indonesia adalah keterdapatan air tanah yang tidak merata, ketergantungan yang tinggi terhadap air tanah untuk penyediaan pasokan air baku, dan maraknya pengambilan sumber air tanah karena tuntutan kebutuhan akan kebutuhan air yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Keterdapatan air tanah sangat erat hubungannya dengan air permukaan. Berdasarkan hukum Darcy, jika tinggi muka air tanah mengalami penurunan yang berkelanjutan, akibat dari eksploitasi air tanah yang berlebihan maka kemungkinkan terjadinya rembesan air sungai ke akuifer sangat besar. Jika aliran sungai cukup besar maka rembesan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap debit sungai. Namun jika akuifer terbentuk dari formasi batuan yang memiliki permeabilitas tinggi, dan pencemaran yang terjadi di sungai cukup tinggi, maka akan berpengaruh terhadap adanya pencemaran air tanah.

Di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Denpasar serta pusat-pusat industri di Pulau Jawa, pengambilan tanahnya sudah begitu intensif. Banyak industri atau hotel yang memiliki sumur produksi, bahkan ada satu perusahaan yang memiliki sampai lebih dari 20 sumur dengan pengambilan air tanah lebih dari 8.000m³  per hari. Akibatnya di pusat-pusat pengambilan air tanah terjadi kemerosotan kuantitas, kualitas, dan bahkan lingkungan air tanah.

Fakta mengenai pencemaran air tanah sebagaimana dilaporkan oleh Danaryanto dan Satriyo tahun 2008 antara lain menyebutkan bahwa akibat pengambilan air tanah yang intensif di daerah tertentu dapat menimbulkan pencemaran air tanah dalam yang berasal dari air tanah dangkal, sehingga kualitas air tanah yang semula baik menjadi menurun dan bahkan tidak dapat dipergunakan sebagai bahan baku air minum. Sedangkan di  dataran air pantai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya intrusi air laut karena pergerakan air laut ke air tanah.

Laporan tersebut juga menyampaikan bahwa di sekitar Bandung air tanah dangkal di daerah pemukiman dan industri  umumnya tidak memenuhi syarat sebagai sumber air minum. Beberapa parameter yang tidak sesuai persyaratan untuk sumber air minum, karena melebihi ambang batas yang diizinkan, antara lain: kekeruhan melebihi 5 FTU,warna lebih dari 15 PtCo, pH kurang dari 6,5, lebih dari 0,3 mg/l,  lebih dari 0,1 mg/l, lebih dari mg/l,  lebih dari 250 mg/1, dan  lebih dari 50 mg/l, serta mengandung bakteri coli tinja. Rendahnya kualitas air tanah dangkal di daerah pemukiman dan industry ini kemungkinan disebabkan oleh litologi akuifer yang merupakan endapan danau dan pencemaran dari limbah domestik.

Kekeruhan dan warna dapat terjadi karena adanya zat-zat koloid berupa zat-zat yang terapung serta terurai secara halus sekali, kehadiran zat organik, lumpur, atau karena tingginya kandungan logam besi dan mangan. Kehadiran ammonia dalam air bias karena adanya rembesan dari lingkungan yang kotor, dari saluran air pembuangan domestik. Ammonia terbentuk karena adanya pmbusukan zat organik secara bacterial atau karena adanya pencemaran pertanian.

 

Kandungan besi dan mangannya tinggi (>0,3 m/l untuk besi, >0,1 mg/l untuk mangan) disebabkan bantuan akuifer yang banyak mengandung logam besi dan mangan. Pada umumnya senyawa besi dan mangan sangat umum terdapat dalam tanah dan mudah larut dalam air terutama bila air bersifat asam. Kandungan bakteri coli tinja hanya berkembang pada sumur gali, sedang pada sumur pantek umumnya tidak mengandung bakteri coli tinja. Pencemaran coli tinja kemungkinan disebabkan oleh tangki jamban dibuat terlalu berdekatan dengan sumur atau sumur berdekatan dengan sungai yang telah tercemar oleh tinja manusia.

 

Di Jakarta penurunan kualitas air tanah tak-tertekan (kedalaman < 40 m) ditandai dengan adanya peningkatan nilai DHL air tanah, terjadi di daerah dataran bagian barat yakni di wilayah Jakarta Utara (1 – 1000 μS/cm), Jakarta barat (15 – 600 μS/cm), dan kota Tangerang (40 – 160 μS/cm). sedangkan dibagian timur, terjadi peningkatan air tanah dengan penurunan nilai DHL yang terjadi di wilayah Jakarta Selatan (3 –251 μS/cm), Jakarta Timur (20 μS/cm), dan kota Bekasi (49 μS/cm). Pada sistem akuifer tertekan atas (kedalaman 40 – 140 m) di daerah dataran bagin barat terjadi penurunan kualitas air tanah dengan peningkatan nilai DHL air tanah di wilayah kota Tangerang (60 - 636 μS/cm), Jakarta Utara (554 – 1900 μS/cm), dan Jakarta Pusat (14 - 56 μS/cm).

 

Admin (disadur dari ManajemenAir Tanah Berbasis Konservasi, DESDM, 2008)

sumber: