Penantian Panjang Terbentuknya UU Energi Nasional
Penantian Panjang
Terbentuknya UU Energi Nasional
Sinar Harapan, 27 Juni 2005
Satu hal yang mengherankan kita semua, Menteri ESDM dengan senang hati
mempersilakan pengiriman gas alam dari
Kita pantas mempertanyakan kebijakan Pemerintah itu. Mengapa? Pasalnya hal itu
dilakukan di tengah-tengah krisis listrik yang terjadi di Jawa-Bali! Sejumlah
pembangkit listrik yang dioperasikan PLN di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga
Gas Uap (PLTGU) Muara Tawar 840 Megawatt (MW), PLTGU Grati 750 MW, dan PLTGU
Tambak Lorok 1.000 MW, sesungguhnya sejak lama sudah �berteriak� meminta suplai
gas alam dari produsen gas.
Didesain menggunakan gas karena pertimbangan lebih murah dan efisien, ketika
akan beroperasi, gas tidak ada. Maka terpaksalah digunakan BBM (Bahan Bakar
Minyak) sebagai pengganti sekalipun lebih mahal dan PLN terpaksa selalu
memonitor suplai BBM dari Pertamina.
Jadi pesan moral: sangat tidak masuk akal Pemerintah masih membuka diri dan
menawarkan gas alam untuk diekspor sementara di dalam negeri justru kekurangan
pasokan gas.
Sikap pemerintah yang ibarat�anjing menggonggong kafilah berlalu�, tetap
bersikukuh mengekspor gas alam ke luar negeri ini, juga membuat kita miris
hati.
Sebabnya, sejak awal tahun ini sejumlah industri di Jawa Timur telah berhenti
beroperasi karena kesulitan yang sama yakni terhentinya pasokan gas. PT
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dengan berterus-terang menyatakan tidak
bisa berbuat banyak karena suplai gas dari produsen masih terhambat.
Mulyo Aji, General Manager Pusat Pembangkitan dan Pengendalian Beban (P3B) PT
Pembangkitan Jawa Bali (PJB), kepada SH mempertanyakan kebijakan energi dari
Pemerintah sehingga berbuah krisis seperti yang dialami saat ini.
�Sudah 3 tahun kita teriak-teriak minta gas, tapi tidak pernah datang. Itulah
kebijakan energi pemerintah kita. Mungkin di mata pemerintah, listrik bukan
prioritas sehingga tidak ada gas dibiarkan saja,� katanya di
Pemanfaatan Rendah
Data menunjukkan bahwa cadangan energi kita masihlah besar. Minyak bumi
misalnya, dari cadangan (terbukti plus potensial) sebesar 9 miliar barel, besar
produksi per tahun 500 juta barel.
Untuk gas, cadangannya lebih besar lagi yakni 182 triliun kaki kubik sementara
produksinya baru sebesar 3 triliun kaki kubik. Batubara juga demikian. Dari
total perkiraan cadangan 19,3 miliar ton, produksi per tahun rata-rata baru
mencapai 130 juta ton.
Untuk jenis energi non fosil, kita ternyata masih sangat rendah pemanfaatannya.
Sekadar gambaran, dari perkiraan sumber daya tenaga air sebesar 75.670 MW (GW),
saat ini kapasitas terpasang baru sebesar 4.200 MW. Sementara pada tenaga panas
bumi, potensi sebesar 27.000 MW namun yang terpasang baru sebesar 800 MW.
Energi non fosil mini hidro memiliki potensi 458,75 MW tetapi yang dimanfaatkan
baru sebesar 84 MW. Untuk energi tenaga angin, potensinya cukup besar yakni
9.290 MW tetapi yang dimanfaatkan baru sebesar 0,5 MW. Bahkan untuk energi
nuklir
Faktanya, dengan potensi energi yang bervariatif itu, komposisi antara BBM
dengan jenis energi lainnya ternyata masih jomplang. Tahun 2003 tercatat BBM
masih mendominasi 63 persen dari komposisi energi (energy mix) nasional.
Sisanya dibagi antara gas (17 persen), batubara sebesar 8 persen, LPG (2
persen), dan lain-lain.
Ketimpangan yang sama juga terjadi pada energi primer. Minyak bumi atau crude
oil masih menguasai pemakaian 54,5 persen energi primer nasional, disusul gas
bumi dengan 26,5 persen, batubara 14,1 persen, PLTA (tenaga air) sebesar 3,4
persen, panas bumi 1,4 persen, dan 0,2 persen untuk energi lainnya.
Ekspor
Data berikut ini barangkali bisa memperjelas kebijakan Pemerintah yang
menomorsatukan ekspor. Pada tahun 2004, dari produksi minyak mentah (crude oil)
sebesar 1,125 juta barel per hari, sebanyak 514.000 barel diekspor dan sisanya
611.000 barel diolah di dalam negeri tetapi kita masih impor sebanyak 487.000
barel. Inilah yang oleh pengamat migas Kurtubi dikatakannya sebagai kebijakan
yang salah dari Pemerintah.
�Kita susah-susah mengimpor minyak mentah padahal itu bisa dihindari bila
produksi kita dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dan
kapasitas kilang dalam negeri kita juga perlu ditingkatkan,� ujar Kurtubi.
Sementara untuk gas bumi, dari produksi nasional sebesar 8,35 miliar kaki kubik
(BSCF) per hari di tahun 2004, sebanyak 4,88 miliar kaki kubik diekspor (58,4
persen) dan sisanya 3,47 BSCF (41,6 persen) untuk domestik.
Sedangkan pada batubara, produksi nasional sebanyak 131,72 juta ton dan
sebanyak 92,50 juta ton (70,2 persen) diekspor lalu sisanya 32,91 juta ton
(29,8 persen) untuk keperluan domestik.
Jadi, kentara sekali betapa Pemerintah kita sangat berorientasi ekspor padahal
di dalam negeri justru mengalami paceklik atau bahkan krisis. Fakta ini juga
sangat bertolak belakang dengan pernyataan dari Kardaya Warnika, Kepala Badan
Pelaksana Kegiatan Migas (BP Migas) yang dalam banyak kesempatan selalu
menyatakan,� Untuk gas bumi, kita akan selalu memprioritaskan pemenuhan
kebutuhan domestik terlebih dahulu barulah kalau ada sisa kemudian diekspor.�
Tetapi kenyataannya, data di atas menunjukkan bahwa ekspor masih lebih besar.
Dan tak mengherankan bila Jawa Timur dan PLN tetap saja mengalami krisis gas.
Banyak kalangan yang melantunkan pandangan bahwa pemerintah masih lamban, tidak
tanggap mengantisipasi perkembangan energi. Hingga detik ini
Yang dikembangkan saat ini justru UU yang sifatnya parsial seperti UU tentang
Batubara dan Mineral, UU tentang Panas Bumi, UU tentang Kelistrikan Nasional,
UU tentang Migas, dan sebagainya.
�Masalahnya kemudian, masing-masing UU itu seolah-olah menunjukkan egonya
sendiri-sendiri. Tidak ada koordinasi yang jelas dan tegas diantara berbagai
jenis energi itu, padahal koordinasi itulah yang dibutuhkan agar krisis dan
kerawanan energi tidak terjadi,� papar Kurtubi.
Ia sedari awal mengusulkan, yang dibutuhkan oleh
Jika kondisi yang terjadi seperti sekarang, dimana tiap jenis energi memiliki
UU sendiri, maka ia khawatir tidak akan ada UU yang bisa mengkoordinasikan UU
yang sudah lebih dulu hadir dan spesifik untuk energi tertentu.
Bakoren
Pemerintah sendiri sedikit banyak memang sudah melakukan sesuatu. Keputusan
Presiden No.46 Tahun 1980 sudah mengamanatkan pembentukan Bakoren (Badan
Koordinasi Energi Nasional) yang tugas pokoknya adalah merumuskan kebijakan dan
program Pemerintah di bidang pengembangan dan pemanfaatan energi secara
terpadu, serta mengkoordinasikan pelaksanaan program dan kebijakan oleh
instansi bersangkutan.
Bakoren ini sudah beberapa kali diutak-atik sejak tahun 1981 dan terakhir pada
tahun 2003 komposisinya diketuai oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
dan beranggotakan antara lain Menteri Perindustrian, Menteri Perhubungan,
Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas. Dalam Blue Print (cetak biru) Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025,
disana jelas tercantum bahwa sasaran yang ingin dicapai oleh Bakoren ini adalah
UU tentang Energi Nasional yang bersifat komprehensif dan terpadu.
Tetapi harus diakui, setelah lebih dari 20 tahun masyarakat umum dan kalangan
energi menanti, nyaris tidak terdengar apa saja hasil kerja dari Bakoren ini.
Setelah menanti panjang, bukannya UU tentang Energi yang didapat melainkan
krisis listrik, krisis gas, entah krisis apa lagi yang bakal tersaji di depan
kita.
Dan yang lebih menyakitkan, dari cetak biru tersebut, kita ternyata �disuruh�
menanti selama 20 tahun lagi hingga 2025 untuk bisa menyaksikan terbentuknya UU
tentang Energi Nasional. Bukan main.