Penambangan Timah Liar Makin Marak di Babel
Pangkal Pinang, Kompas - Penambangan timah liar semakin marak di hampir seluruh wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, bahkan telah merambah kawasan hutan lindung, pinggiran jalan raya, perkampungan, dan lahan produktif. Penambangan yang tidak diikuti proses reklamasi lahan tersebut menciptakan lubang-lubang galian yang merusak struktur tanah dan lingkungan sekitarnya.
Menurut pemantauan Kompas, Senin (8/11), aktivitas penambangan timah inkonvensional di wilayah Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Pangkal Pinang, dan Kabupaten Bangka (induk), Provinsi Bangka Belitung (Babel), sangat mencolok karena dilakukan di pinggir-pinggir jalan raya. Bahkan, banyak penggalian yang hanya berjarak beberapa meter dari badan jalan. Bekas-bekas penambangan meninggalkan lubang-lubang mirip "kawah" yang menganga dan terisi air hujan dan tidak dimanfaatkan untuk kegiatan produktif.
Gubernur Provinsi Kepulauan Babel A Hudarni Rani SH mengakui makin maraknya penambangan liar tersebut, terutama
Menurut R Monang Silalahi, Bagian Publikasi dan Dokumentasi Humas Pemerintah Provinsi Babel, penambangan liar atau inkonvensional yang terdata di seluruh provinsi awal tahun 2004 mencapai sekitar 7.000 titik. Di luar itu, ada juga penambangan besar yang dilakukan PT Timah dan PT Koba Tin. Saat ini jumlah tersebut diperkirakan terus membengkak dan bertambah luas.
"Setelah tempat lama dianggap mulai habis, penambang biasanya langsung membuka galian baru. Modal penambangan kecil-kecilan sekitar Rp 5 juta sampai Rp 10 juta untuk membeli mesin pengisap dan mesin semprot," kata Silalahi.
Maraknya penambangan liar tersebut menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Lubang-lubang galian merusak struktur tanah dan jalan raya, meruntuhkan bangunan sekolah atau permukiman penduduk, dan mengganggu prasarana sumber daya air.
"Penambangan mulai merusak kawasan Gunung Mangkul di Kabupaten
Perda penambangan
Provinsi Babel telah mengeluarkan Peraturan Daerah (perda) Pertambangan Nomor 8 Tahun 2003 yang mengatur penambangan agar tidak merusak lingkungan. Perda menyebutkan, setiap penambangan harus dilengkapi izin dari kepala desa atau dinas pertambangan setempat serta membayar kontribusi bagi pemerintah daerah. Setelah menambang, pengusaha diharuskan bertanggung jawab mereklamasi tanah bekas galian. Namun, perda tersebut masih sulit direalisasikan.
"Ketika sudah banyak yang terlibat, apakah semua orang harus ditangkap, termasuk para pendatang dari daerah lain. Apalagi, rakyat kecil menambang karena sulit mendapat pekerjaan yang layak dan keuntungan kebun lada kurang baik. Kami masih berkonsentrasi untuk menindak tegas penambangan besar yang liar dan merusak lingkungan," kata Hudarni.
Saat ini harga timah kering Rp 26.500-Rp 30.000 per kg. Harga tersebut jauh di atas harga lada sekitar Rp 15.000-Rp 18.000 per kg. Itu pun petani harus menunggu tiga hingga empat tahun hingga lada berbuah. "Penambangan timah menjanjikan keuntungan instan yang tinggi bagi banyak orang. Itu juga didukung pasar gelap ke luar negeri yang menerima hasil timah yang ditambang," kata Monang Silalahi.