Pemkab Tanah Bumbu Bertekad Berantas Peti - Penambang Liar, Pengusaha Resmi Bangun Kemitraan

BANJARMASIN (Media): Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel), bertekad memberantas penambangan liar. Pemberantasan pertambangan tanpa izin (peti) dilakukan dengan cara membangun kemitraan antara penambang liar dan pengusaha resmi pemegang kuasa pertambangan.

Penjabat Bupati Tanah Bumbu Zairullah Ashar, kemarin, mengatakan, Pemkab Tanah Bumbu segera bebas dari segala praktik pertambangan tanpa izin dalam waktu yang tidak terlalu lama. "Kita telah mempunyai kebijakan penataan pertambangan, sehingga ke depan sudah tidak ada lagi apa yang disebut penambang liar itu," katanya.

Menurut Zairullah, persoalan pertambangan tanpa izin bermula dari pelaksanaan otonomi daerah yang salah kaprah. Ada tumpang tindih antara Undang-Undang (UU) No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang belum diamendemen DPR dengan UU No 22/1999 soal Otonomi Daerah.

Berbagai pihak mengklaim dirinya yang paling berhak atas batu bara yang ada di wilayahnya. Semula masalah ini dipicu oleh krisis moneter, berlanjut dengan UU Otonomi Daerah, maka atas nama masyarakat, kini banyak pihak saling memanfaatkan keadaan. "Banyak masyarakat berebut tidak mau kehilangan kesempatan, memanfaatkan sumber daya alam walau tergolong pengusaha pertambangan tanpa izin," katanya.

Persoalan mendasar dari munculnya pertambangan tanpa izin ini, adalah masalah keterbatasan modal dan birokrasi pengurusan izin kuasa pertambangan (KP) yang memerlukan waktu lama. Untuk itu Pemkab Tanah Bumbu mengambil kebijakan mengembangkan kemitraan di antara pengusaha, warga lokal, Pemerintah daerah dan lebih jauh lagi, negara. Cara ini dianggap paling menguntungkan semua pihak.

Menurut dia, dengan sistem kemitraan tersebut, para pengusaha resmi tidak dirugikan, warga lokal dapat mengambil manfaat dan tidak hanya mendapatkan sisa kerusakan dan polusi penambangan.

Sementara pemerintah daerah dan negara, kata dia, selain bisa memungut pajak, juga bisa mempertahankan lingkungan karena cara penambangan yang baik dan manajemen yang tertata rapi.

"Masyarakat Tanah Bumbu, harus dapat menikmati anugerah berupa kekayaan sumber daya alam yang dimiliki tidak hanya menjadi penonton," katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD Kalsel Puar Junaidi, mendesak Pemkab Tanah Bumbu serius membenahi berbagai dampak kerugian yang ditimbulkan dari maraknya kegiatan pertambangan tanpa izin ini, berupa kerusakan lingkungan yang cukup parah terutama di daerah sekitar lokasi tambang.

"Banyak lobang-lobang bekas galian tidak ditutup. Juga jalan-jalan utama milik pemerintah yang rusak akibat angkutan batu bara yang melampai beban," katanya. Kerusakan lingkungan lain berupa pencemaran debu batu bara di jalan-jalan maupun di sekitar tambang.

Secara umum, dikatakan Puar, dari sisi kerugian materi, penambangan ilegal, walaupun memberi lapangan pekerjaan kepada warga lokal, namun telah merugikan negara lebih dari Rp513 miliar, yang merupakan royalti 13,5 persen kepada negara (dari 1999 hingga 2003).

Andaikan produksi penambangan liar itu dibagikan gratis untuk tiga juta penduduk Kalsel, masing-masing warga bisa mendapat Rp1,3 juta/orang. Tak heran jika kemudian Kalsel dinobatkan sebagai daerah penghasil batu bara ilegal terbesar di dunia.

Disamping masalah kerusakan lingkungan, Komisi A DPRD Kalsel juga menyoroti berbagai persoalan berupa maraknya kasus tumpang tindih lahan produktif, seperti masalah tumpang tindih lahan areal perkebunan kelapa sawit dengan lahan pertambangan batu bara.

Sengketa perbatasan yang dipicu masalah penguasaan areal pertambangan antara kabupaten Tanah Bumbu, Kotabaru dan Tanah Laut. Semua itu kini menjadi PR yang cukup besar bagi Pemkab Tanah Bumbu untuk dibenahi.


sumber: