Pemerintah Siapkan UU Listrik yang Baru
ÂÂ
Persiapan pembuatan Undang-Undang (UU) Listrik yang baru tersebut dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro kepada wartawan di Jakarta, Kamis (16/12). Pemerintah akan mengkaji tiga pasal yang menyebabkan UU Nomor 20 Tahun 2002 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya kompromi, yakni Pasal 16 tentang Pemisahan Usaha Penyediaan Listrik, Pasal 17 tentang Kompetisi Usaha Listrik, dan Pasal 68 tentang Peralihan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).
Mengenai pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002 itu, Purnomo telah memberikan laporan kepada Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Kamis pagi. Kemudian pada sore harinya didampingi Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra melapor kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka. Purnomo menegaskan, pihaknya baru saja membahas usulan rancangan undang-undang (RUU) baru bersama Mensesneg untuk diajukan kepada Presiden.
"Ibaratnya, dengan pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002 itu, kita sudah berjalan, namun di depan ada jurang. Lalu, kita harus balik lagi, tetapi ternyata pintunya sudah tertutup. Jadi, kita harus membuat payung baru. UU lama itu berarti kita kembali lagi ke era sentralisasi, yaitu zaman sebelum tahun 2001. Padahal, dengan UU No 20 Tahun 2002 kita sudah menerapkan era otonomi daerah," ujarnya.
Purnomo mengharapkan, RUU baru itu bisa ditindaklanjuti oleh Presiden dan selanjutnya bisa diajukan ke DPR sebagai alternatif dari pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan oleh MK. Dengan pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002, UU lama, yaitu UU Nomor 15 Tahun 1985, berlaku kembali.
"Kita akan kembali ke UU Nomor 15 Tahun 1985, namun action plan-nya apa? Kita akan ajukan lagi RUU baru. Namun, ada tiga hal yang krusial dalam RUU baru, yaitu Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 68," ujarnya.
Regulasi baru
Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Yogo Pratomo mengatakan, akibat pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002, pemerintah harus membuat beberapa regulasi yang baru. Materi muatan regulasi yang telah dibuat berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2002 akan dirumuskan kembali sebagai UU Nomor 15 Tahun 1985, sepanjang diamanatkan oleh undang-undang tersebut.
Kewenangan pemberian izin dan perencanaan ketenagalistrikan kepada daerah akan diatur kembali. Selain itu, segera disusun peraturan presiden untuk mengatur kemitraan antara badan usaha milik negara dan swasta untuk percepatan pembangunan infrastruktur listrik.
Tak berdampak
Secara terpisah, Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono menegaskan, pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002 tidak memberikan dampak negatif terhadap kontrak yang berlaku selama ini. Pembatalan UU tersebut bukan merupakan sesuatu yang dapat memicu perlunya renegosiasi kontrak.
"Sejak pengumuman pembatalan, saya tidak menerima kekhawatiran dari para mitra investor. Kami juga belum merasa perlu merevisi target investasi akibat pembatalan UU Nomor 20 Tahun 2002," ujar Eddie.
Menurut Eddie, partisipasi swasta dalam pembangunan ketenagalistrikan yang difasilitasi dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 sebenarnya juga difasilitasi UU Nomor 15 Tahun 1985 yang sekarang berlaku. Jadi, investor maupun calon investor tidak perlu ragu melanjutkan kerja sama dengan PLN.
UU Migas
Sementara itu, menyangkut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang kini menunggu keputusan hasil hak uji materi (judicial review) di MK, Wakil Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) Kardaya Warnika mengatakan, UU Nomor 22 Tahun 2001 sebagai Undang-Undang Migas yang baru tidak banyak berbeda dengan undang- undang sebelumnya karena mencakup usaha hulu (upstream) maupun hilir (downstream).
UU Migas yang baru juga tidak memberikan batasan pada perusahaan karena perusahaan bisa bertindak sebagai penjual, pengangkut, penimbun, serta sebagai operator kilang.
Kardaya mengatakan, jika UU Nomor 22 Tahun 2001 dibatalkan, beberapa badan atau lembaga yang telah dibentuk harus dibubarkan. Selain itu, pelaksanaan otonomi daerah di sektor migas akan batal demi hukum.
Pembatalan UU Nomor 22 Tahun 2001 juga membatalkan kontrak migas dengan nilai miliaran dollar AS yang sudah ditandatangani pemerintah dan investor. Hal itu berakibat pada kredibilitas pemerintah dan negara
Penerimaan negara dari sektor migas yang selama ini mencapai 30 persen dari total APBN juga akan terganggu. Begitu pula dengan pendapatan pajak yang akan menurun, sehingga pemerintah akan menanggung defisit anggaran.
sumber: