Pemerintah Harus Susun Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Mineral

Suara Pembaruan, 3 Agustus 2004 - JAKARTA - DPR dan pemerintah harus segera memutuskan kebijakan mengenai arah pertambangan dan pemanfaatan sumber daya mineral. Hal itu penting, untuk menentukan arah pengelolaan kekayaan alam yang begitu melimpah sebagai sumber pendapatan utama bagi negara.

Demikian dikatakan pengamat pertambangan, Paul L Coutrier di Jakarta, Senin (2/8). "Dibanding negara lain, yang kini mulai menggenjot pendapatan dari pemanfaatan mineral, Indonesia memiliki cadangan sumber daya mineral yang jauh lebih kaya. Tapi kenapa itu tidak dilihat sebagai potensi? Itu karena kebijakan di kita belum jelas dalam menempatkan kekayaan mineral sebagai sumber pendapatan negara," kata mantan Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) itu.

Belum adanya kebijakan tersebut juga berdampak pada munculnya berbagai persoalan di sektor pertambangan termasuk turunnya investasi dan masalah tumpang tindih dengan sektor lain (kehutanan). Meski polemik tumpang tindih areal pertambangan dengan kawasan hutan lindung telah terselesaikan, dengan disetujuinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2004 menjadi UU, bukan berarti iklim investasi sektor pertambangan akan segera membaik.

Menurut Coutrier, dari 13 perusahaan yang mendapat izin melanjutkan kegiatan di hutan lindung sesuai Keppres No 41/2004, tiga di antaranya bukan merupakan anggota IMA. Saat ini perusahaan pertambangan yang tercatat sebagai anggota IMA berjumlah 25 perusahaan.

Hutan Lindung

Dia mengakui saat ini masih banyak pelaku usaha di sektor pertambangan yang belum memiliki pengetahuan mengenai aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, khususnya terkait dengan tumpang tindih areal pertambangan dan hutan lindung.

"Banyak yang belum menguasai pengertian hutan lindung. Jadi, menurut saya memberi nilai Rp 70 triliun untuk 900.000 hektare hutan lindung yang akan diberikan kepada 13 perusahaan itu, sangat tidak masuk akal. Apalagi, dari luas itu nantinya tidak akan ditambang semua. Saya perkirakan hanya 0,1 sampai 1,0 hektare yang akan dimanfaatkan. Itu pun tidak seluruh luasnya digali. Jadi, pada akhirnya tidak seluruh 900.000 hektare itu habis dipakai apalagi dirusak. Hanya areal yang memiliki cadangan mineral yang akan ditambang, dia menjelaskan.

Sebelumnya, kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengingatkan pemerintah, jika 13 perusahaan itu diizinkan melanjutkan penambangan di hutan lindung maka akan ada 900.000 hektare kawasan hutan lindung yang hancur. Dengan menggunakan metode benefit transfer, LSM memperkirakan besarnya kerugian negara akibat kehancuran 900.000 hektare hutan lindung itu mencapai Rp 70 triliun.

Menurut LSM, angka tersebut sangat tidak sebanding dengan nilai keuntungan (devisa) yang akan diterima negara. (

sumber: