Pemerintah Harus Hapus Subsidi BBM
Demikian dikatakan Purnomo Yusgiantoro kepada pers seusai rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di Jakarta, Selasa (21/9). Penghapusan subsidi dari tiga jenis bahan bakar minyak (BBM) itu sampai saat ini masih sebatas obsesi yang sebaiknya direalisasikan pada pemerintahan mendatang.
Purnomo juga menjelaskan, jika usulan itu diterima, subsidi yang semula dialokasikan untuk minyak bakar, minyak diesel, dan premium dapat diberikan kepada sektor pendidikan dan kesehatan.
"Dengan penghapusan subsidi pada tiga jenis BBM itu mudah-mudahan rakyat kecil bisa dibantu untuk bersekolah dan berobat secara gratis. Cara ini lebih baik ketimbang memberikan subsidi langsung ke BBM, yang tahun 2004 mencapai Rp 63 triliun," ujarnya.
Dengan harga 32 dollar AS, penerimaan pemerintah naik menjadi Rp 93,9 triliun. Namun, beban juga menjadi lebih besar karena harus dikurangi subsidi BBM Rp 46,8 triliun dan bagi hasil migas Rp 14,5 triliun.
Dengan harga 35 dollar AS, penerimaan negara menjadi Rp 105,39 triliun, tetapi tetap harus dipotong subsidi BBM sebesar Rp 56,90 triliun dan bagi hasil migas Rp 16 triliun. Akibatnya, defisit APBN bertambah Rp 1 triliun jika harga minyak 35 dollar AS per barrel.
Anggaran pemerintah mengalami defisit karena harga minyak dalam APBN 2004 hanya dipatok 22 dollar AS per barrel. Oleh karena itu, defisit pada anggaran pemerintah membengkak menjadi Rp 1,91 triliun jika harga minyak mentah jadi 35 dollar AS per barrel.
Prioritas
Purnomo mengatakan, minyak bakar, minyak diesel, dan premium merupakan prioritas yang didekatkan ke pola mekanisme pasar karena konsumennya mampu membeli dengan harga pasar. Baru setelah itu solar dan minyak tanah. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) tahun 2003 menunjukkan, konsumen BBM bensin lebih banyak dipakai orang berduit. Kelompok nonmiskin mengonsumsi bensin 8,2 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok miskin. Untuk solar, kelompok nonmiskin mengonsumsi 99,4 kali lebih banyak dari kelompok miskin.
Namun, untuk minyak tanah, kelompok miskin mengonsumsi 1,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok nonmiskin. Oleh karena itu, subsidi untuk minyak tanah mungkin masih dibutuhkan atau dihapuskan secara perlahan.