Pemerintah Diminta Cabut Larangan Ekspor Perak

Suara Pembaruan, 18 Januari 2005

JAKARTA -. Akibat kebijakan tersebut, kini stok perak milik sejumlah perusahaan pertambangan menumpuk hingga lebih dari 10 ton.

Alasan pemerintah melarang ekspor perak, yakni agar komoditas itu diserap oleh pasar domestik, dinilai tidak mendasar. Sebaliknya, kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 385/MPP/Kep/ 2004 itu justru berpotensi merugikan pengusaha tambang. Pasalnya, daya serap pasar domestik ternyata tidak mampu menampung seluruh produksi perak yang dihasilkan perusahaan-perusahaan tambang.

Presiden Direktur PT Kelian Equatorial Mining (KEM) Arif Siregar mengatakan, saat ini pemerintah seharusnya sudah menyelesaikan kajian mengenai larangan ekspor perak tersebut. 'Sampai sekarang, hanya janji-janji saja mau mencabut, tapi kenyataannya belum. Ini sangat merugikan pengusaha. Bayangkan, sekarang perak sebanyak 9 ton lebih hanya tertumpuk begitu saja, tidak bisa diapa-apakan,' katanya belum lama ini.

Berdasarkan data KEM yang produksi utamanya emas itu, tahun 2004 dihasilkan perak sebanyak 9 ton, sedangkan emas sebanyak 10,9 ton. Arif memperkirakan, bila diekspor, nilai jual 9 ton perak itu akan mencapai lebih dari US$ 2 juta.

Dia sangat menyayangkan, karena larangan ekspor perak itu merupakan pengingkaran dari aturan-aturan yang disepakati antara pemerintah dan perusahaan tambang dalam kontrak karya. 'Ini aneh. Dulu dalam kontrak karya jelas disebutkan kita boleh mengekspor perak. Tapi, tiba-tiba distop begitu saja,' katanya.

Dia menambahkan, sebelum adanya larangan ekspor, secara rutin PT KEM mengekspor perak setiap minggu sehingga stok komoditas itu tidak sampai menumpuk di penyimpanan. Kemudian ketika pada 11 Juni 2004 dikeluarkan larangan ekspor, seperti anjuran pemerintah, KEM menawarkan perak yang dihasilkan ke Yogyakarta dan Bali. Namun, semua perajin perak di kedua wilayah kerajinan perak rujukan pemerintah itu menyatakan tidak sanggup menampung setoran perak dalam jumlah yang begitu banyak.

'Katanya, kebutuhan mereka hanya sedikit dan stoknya pun masih banyak. Mereka malah kaget karena ditawari perak dalam jumlah ton, sementara yang dibutuhkan tidak lebih dari 2-3 kilogram,' ujar Arif.

Sebelumnya, Direktur Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon Felix Sembiring mengatakan, selang beberapa hari larangan ekspor dikeluarkan, pihaknya langsung meminta Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) meninjau kembali kebijakan itu. Namun, hingga Desember 2004, belum juga ada tanda-tanda apakah larangan itu akan dicabut atau tidak.

Pada September 2004, Ditjen GSDM juga telah melayangkan surat keberatan dari para pihak terkait (stakeholders), termasuk perusahaan-perusahaan tambang yang mengaku dirugikan oleh kebijakan larangan ekspor perak. Dia juga menyesalkan, Depperindag tidak berkoordinasi dengan Departemen ESDM dalam menyusun kebijakan yang berdampak luas itu.

Sementara itu, berdasarkan data di Depperindag pascapemberlakukan larangan ekspor, para perajin perak di Yogyakarta maupun Bali tetap memilih membeli bahan baku dari 'pasar gelap'. Alasan utamanya adalah disparitas (perbedaan) harga. Selama ini para perajin bisa mendapatkan perak dengan harga sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per kilogram di pasar gelap. Sedangkan harga yang ditawarkan perusahaan tambang (termasuk PPN 10 persen) mencapai sekitar Rp 2,5 juta per kilogram.

sumber: