Pemerintah Abaikan Tawaran Freeport
Pemerintah Abaikan Tawaran
- Soal Pelepasan 10 Persen Saham Senilai 619 Juta Dollar AS
Kompas, 20 Mei 2005
Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, mengungkapkan hal tersebut di tengah Rapat Kerja Menteri Keuangan (Menkeu) Jusuf Anwar dengan Komisi XI DPR, Kamis (19/5) di Jakarta.
Dradjad mengatakan,
"Tawaran itu disampaikan kepada Menkeu satu setengah bulan lalu, tetapi hingga saat ini, tidak ada respons apa pun dari Depkeu atas penawaran itu. Padahal, penawaran itu sangat menguntungkan," kata Dradjad.
Menurut Dradjad, dengan kapitalisasi pasar senilai 619 juta dollar AS itu, selintas harga dari 10 persen saham Freeport tersebut sangat mahal dan memberatkan pemerintah. Tetapi, itu bukan masalah karena pemerintah dapat menggunakan skema pembayaran tanpa mengeluarkan uang tunai. Bahkan, jika memang harus membayar tunai, jumlah uang yang dikeluarkan tidak terlalu besar.
"Itu dimungkinkan karena tersedia banyak skema pembiayaan untuk melakukannya. Sebagai contoh, pembayaran dapat dilakukan dengan deviden. Selain itu, bisa juga dengan diambilnya capital gain yang sangat mungkin diperoleh mengingat membaiknya harga-harga di pasar komoditas primer saat ini," kata Dradjad.
Menurut Dradjad, pemerintah dapat menyuntikkan saham Freeport yang dibelinya itu ke badan usaha milik negara (BUMN) sektor tambang, seperti Aneka Tambang (Antam). Hal itu akan membuat kapitalisasi pasar Antam naik secara drastis. "Dengan cara itu, pemerintah juga dapat memperoleh capital gain lagi," katanya.
Dradjad mengatakan, Depkeu tidak melihat adanya prospek yang menguntungkan itu. "Di lain pihak, saya melihat para pelaku usaha swasta sudah melihat potensi yang sangat bagus itu, seperti Grup Bakrie dan Grup Media. Oleh karenanya, saya mempertanyakan mengapa Menkeu tidak merespons penawaran itu?" kata Dradjad.
Belum terima
Menanggapi hal tersebut, Menkeu Jusuf Anwar menegaskan, dirinya belum menerima surat penawaran atas pelepasan saham Freeport tersebut hingga saat ini. "Belum sampai ke meja saya, baru sampai di meja anak- anak," kata Jusuf.
Menurut Jusuf, pemerintah tidak berencana membeli saham perusahaan yang mana pun juga. Hal itu disebabkan karena prioritas pemerintah justru melepas saham-saham miliknya yang ada diberbagai perusahaan, baik perusahaan swasta maupun BUMN.
"Pemerintah itu jangan terlalu banyak main di banyak sektor mikro. Itu sudah banyak dilakukan oleh para pengusaha swasta," kata Jusuf.
Menurut Jusuf, pemerintah dapat memperoleh keuntungan dari masuknya perusahaan swasta di sektor mikro. Hal itu dimungkinkan karena perkembangan sektor mikro tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
"Hal itu akan mendorong peningkatkan daya serap tenaga kerja, kemudian ada peningkatan teknologinya serta akan menghasilkan devisa. Jadi, semua yang menguntungkan tidak harus dicaplok oleh pemerintah. Yang ada pun mau dijual, seperti Kaltim Prima Coal misalnya. Itu kita dapatkan secara mudah dan ditawarkan kepada saya murah-murah. Silakan saja yang lain menjalankan bisnisnya," kata Jusuf.
Sementara itu, Anggota Komisi XI asal Papua, Inya Bay, mengeluhkan minimnya bagi hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerahnya. Hal itu terutama dirasakan pada bagi hasil tambang Freeport. "Royalti dari Freeport diserap Jakarta, tetapi kembali ke Papua dalam jumlah kecil," kata Inya.
sumber: