Pelemahan Rupiah di Luar Kontrol BI

Kurs Takkan Balik ke Posisi Rp 9.300

Kompas, 12 Juli 2005

 

Jakarta, Kompas - Nilai tukar rupiah tidak akan kembali ke kisaran rata-rata Rp 9.000 per dollar Amerika Serikat. Kisaran kurs pada posisi Rp 8.900-Rp 9.300 per dollar AS seperti patokan awal tahun tidak dapat dicapai dengan berbagai alasan, seperti tingginya harga minyak mentah yang memerlukan dollar AS lebih banyak.

Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, Senin (11/7) di Jakarta, beralasan, karena depresiasi nilai tukar rupiah yang terjadi sudah cukup dalam, sulit untuk mengangkat nilai tukar rupiah pada level yang diprediksikan di awal tahun itu.

Awal tahun ini nilai tukar rupiah diperkirakan dalam ekspektasi dengan perekonomian serta iklim investasi yang sangat tinggi, pada kisaran Rp 8.800-Rp 9.300 per dollar AS, dengan kurs Rp 9.000 per dollar AS sebagai rata-rata tahun ini. Sepertinya kisaran tersebut jauh di atas kapasitas kita untuk dicapai tahun ini, kata Miranda.

Dia mengatakan, tidak ada yang dapat mengatakan berapa rata-rata nilai tukar rupiah pada akhir tahun ini. Tidak ada yang bisa mengatakan rupiah akan berada di level berapa akhir tahun ini. �Tetapi, saya dapat mengatakan satu hal, nilai tukar rupiah tidak akan kembali di kisaran Rp 9.000, bahkan tidak akan kembali ke level sekitar Rp 9.300,� kata Miranda.

Pada perdagangan kemarin, nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar AS dan ditutup pada posisi Rp 9.760 dari penutupan sebelumnya yang berada pada posisi Rp 9.805.

Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Ferry Latuhihin menanggap pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang realistis. Menurut kajian optimistis BII, pada akhir tahun nanti rupiah akan berada pada Rp 9.490 per dollar AS.

Masalah ini sebenarnya bukan harga minyak, melainkan penguatan dollar AS terhadap semua mata uang, memang ini di luar kontrol. Menurut saya, pasar tak akan menanggapi hal ini dengan negatif karena arah pasar sudah mendahului dan ini merupakan sikap yang realistis, katanya.

Sementara itu, harga minyak mentah kemarin kembali turun setelah bencana Badai Dennis di Teluk Meksiko. Harga minyak light sweet di New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk kontrak Agustus turun 1,14 dollar AS per barrel menjadi 58,49 dollar AS per barrel. Harga minyak Brent di London’s International Petroleum Exchange untuk kontrak Agustus turun 1,17 dollar AS per barrel menjadi 57,03 dollar AS per barrel.

Masih tingginya harga minyak menurut Miranda membuat rupiah semakin tertekan karena permintaan dollar AS juga melonjak tajam untuk keperluan impor minyak bumi tersebut.

Tanpa adanya pasokan yang cukup dari sektor swasta dan realisasi dari penanaman modal asing langsung (foreign direct investmen/FDI) sudah menciptakan tekanan pada nilai tukar rupiah, kata Miranda.

Mengenai tingginya inflasi karena semakin mahalnya harga seiring dengan pelemahan rupiah, Miranda mengatakan sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Angka target inflasi pada enam persen plus minus satu persen dipastikan tidak dapat dicapai. Menurutnya, saat ini sepertinya inflasi akan lebih tujuh persen plus minus satu persen

sumber: