Pelaksanaan Otonomi Daerah Kebablasan

Jakarta, Kompas - Pelaksanaan otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sering diartikan kabupaten/kota bahwa mereka terlepas dari pemerintah provinsi sehingga dapat mengatur hak dan wewenang untuk mengatur rumah tangganya. Akibatnya, implementasi otonomi daerah ini sering kebablasan.

Hal itu terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan dua peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat dan Carunia Mulya Firdausy, yang dipaparkan di Jakarta, Jumat (23/4). Penelitian yang berjudul Eksplorasi Perspektif Elite Penyelenggara Pemerintahan Daerah tentang Otonomi Daerah itu dilakukan selama tiga tahun, sejak tahun 2001-2003. Tahun pertama dan ketiga dilakukan di Jawa Barat dan Sumatera Barat, sedangkan tahun kedua di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur.

"Hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota memang seakan-akan terlepas satu sama lain. Hal ini cukup beralasan karena UU No 22/1999 menyebutkan bahwa provinsi dengan kabupaten/kota tidak punya hubungan hierarkis, tetapi bukan berarti putus begitu saja," ungkap Syarif.

Menurut Syarif, meski tidak ada hubungan hierarkis, provinsi dan kabupaten/kota harus mempunyai hubungan fungsional, misalnya koordinasi dan pengawasan pembinaan. Ia juga mencontohkan wewenang pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlalu berlebihan dalam hubungannya dengan kepala daerah. "Kita pasti sering melihat bahwa DPRD memakai laporan pertanggungjawaban (LPJ) untuk menjatuhkan kepala daerah, padahal LPJ kan hanya sebuah laporan berkala yang kalau kurang bisa diperbaiki bukan lalu dijadikan justifikasi untuk menurunkan kepala daerah," ujarnya.

Tukang tambal ban

Ia menjelaskan, seharusnya DPRD diberdayakan dengan harapan terjadi keseimbangan tetapi sayangnya orang-orang di dalam DPRD itu sendiri tidak memiliki kemampuan. Dalam penelitiannya, Syarif mengaku sering menemukan anggota DPRD yang mantan sopir bus kota atau tukang tambal ban. "Mereka yang duduk di DPRD tidak mempunyai kemampuan untuk memahami konsep otonomi daerah. Jadi, akibatnya membabi buta. Bahkan, banyak terjadi praktik politik uang," kata Syarif.

Syarif menambahkan, sebenarnya untuk mengantisipasi otonomi daerah yang kebablasan ini, pemerintah pusat bisa mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur lebih detail mengenai konsep otonomi daerah. "Saya curiga pemerintah pusat memang tidak mau mengeluarkan PP untuk menciptakan kondisi yang tidak jelas di daerah sehingga dikembalikan lagi menjadi sentralisasi. Padahal, bukan itu solusinya, tetapi bagaimana meningkatkan kualitas elite penyelenggara pemerintah daerah," jelasnya.

Sementara itu, Carunia mengatakan, penelitian pada tahun pertama dan ketiga, di Jawa Barat dan Sumatera Barat menunjukkan kemajuan yang berarti. "Perubahan pandangan elite penyelenggara daerah tersebut mengindikasikan harapan agar kebijakan pajak dan retribusi daerah diupayakan untuk dikurangi secara proporsional," kata Carunia.

Namun, lanjutnya, bukan berarti implementasi UU Otonomi Daerah bebas dari masalah. Beberapa elite penyelenggara daerah yang diwawancarai menyatakan perlu adanya revisi konsep UU terutama menyangkut kewenangan kabupaten/kota untuk secara mandiri mengurusi keuangan daerah agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal daerah.

sumber: