PE hambat pengembangan briket batu bara

PE hambat pengembangan briket batu bara

Bisnis, 20 Oktober 2005

JAKARTA: Pemerintah meminta produsen batu bara dalam negeri membangun pabrik briket untuk mendongkrak kapasitas produksi komoditas tersebut menjadi 120.000 ton per tahun pada 2006.

Namun, rencana itu bakal terganjal kebijakan pungutan ekspor (PE) sebesar 5% untuk batu bara yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No 95/PMK.02/2005 pada 11 Oktober lalu.

Mengutip Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM) pada Departemen ESDM, Simon F. Sembiring, pihaknya berupaya memberikan stimulasi kepada pelaku usaha terkait menyusul proyeksi permintaan briket bakal meningkat tahun depan.

"Kami mengajak ke semua perusahaan batu bara untuk bangun pabrik briket. APBI [Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia] sudah setuju. Jadi dari produksi yang sekarang hanya 17.000 ton bisa naik sampai 120.000 tahun depan," ujarnya.

Namun hingga saat ini, lanjutnya, rencana itu belum terealisasi karena pelaku usaha menilai tidak mendapat insentif dari pengembangan industri tersebut.

Apalagi, kata dia, produsen nasional juga mengaku bakal kesulitan menyusul ditetapkannya pungutan ekspor (PE) untuk bahan tambang batu bara sebesar 5% mulai sesuai keputusan Menteri Keuangan pada 11 Oktober.

Kondisi ini mengakibatkan sejumlah pemegang kuasa pertambangan [KP] lokal terkena tambahan biaya ekspor. Sementara, perusahaan asing justru tidak tersentuh kebijakan baru tersebut.

"Ini kan diskriminatif. Bagaimana mereka mau bangun briket setelah ada pungutan eskpor itu. Perusahaan nasional pemegang KP akan kena, tapi seperti PT Kaltim Prima Coal [KPC] tidak kena. Kan ini berat," tukasnya.

Apalagi, tambahnya, pengenaan pungutan ekspor itu juga akan mengurangi daya saing ekspor batu bara hasil tambang perusahaan lokal karena adanya biaya tambahan yang harus ditanggung.

Simon mengungkapkan kondisi ini bakal tidak kondusif terhadap investasi. Hal itu juga akan menyurutkan niat perusahaan untuk mengeluarkan modal tambahan guna pembangunan pabrik briket batu bara.

"Pendapatannya berapa sih dari PE itu, paling hanya Rp200 miliar-Rp300 miliar. Ini tidak sebanding dengan dampak lanjutannya kemudian. Di negara lain pengekspor batu bara, seperti Australia, dan Afrika, pungutan itu tidak ada."

Sempat dilibatkan

Sebelumnya, menurut Simon, Departemen ESDM dan pelaku usaha sudah sempat dilibatkan dalam pembahasan rencana penerapan kebijakan ini. Pihak terkait menyatakan keberatan. Namun, lanjutnya, Depkeu tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengapa akhirnya pungutan itu tetap diberlakukan.

Senada dengan Dirjen GSDM, kalangan pengusaha batu bara pun mengeluhkan kebijakan pemerintah yang akan memberatkan kinerja sektor terkait dan menghambat investasi.

Ketua APBI Jeffrey Mulyono menegaskan pemungutan itu tidak memiliki dasar penerapan yang kuat. Dia menilai hal ini tidak lazin dilakukan dengan tanpa alasan yang jelas.

"Ini dikhawatirkan mengurangi investasi. Tidak ada negara lain yang menerapkan PE bagi produk pertambangan termasuk batu bara itu karena memang tidak lazim dilakukan dan tidak ada alasan yang kuat," tukasnya seperti dikutip Antara.

Dia menilai saat ini tidak ada lagi koordinasi dan komunikasi antardepartemen sehingga menyebabkan setiap instansi menentukan sikapnya masing-masing.

Sebab, katanya, dalam pembahasan yang dilakukannya dengan Departemen ESDM sebelumnya, pungutan ekspor itu hampir dipastikan tidak jadi diterapkan karena ditolak oleh pelaku usaha dan departemen terkait.

"Sepertinya, Depkeu jalan sendiri, sementara Departemen ESDM dan Kantor Menko Perekonomian juga jalan sendiri," keluhnya.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Balai Besar Tekhnologi Energi BPPT Agus Rusyana Hoetman menilai terbatasnya produksi briket nasional juga tidak didukung sistem distribusi yang optimal.

Hal ini, menyebabkan konsumen kesulitan mendapatkan bahan bakar alternatif tersebut kendati sumber energi itu kini dipasarkan dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan minyak tanah atau hanya sekitar Rp900 per kilogram

sumber: