Pasokan Besi Tua Terhambat oleh Perpajakan

Jakarta, Kompas - Para pengusaha pengecoran logam di Batur, Ceper, Klaten, Jawa Tengah, sebenarnya tak perlu khawatir dengan pasokan besi tua (scrap) jika pemerintah mengubah kebijakan perpajakan mengenai peralatan yang dimasukkan oleh investor pertambangan dan perminyakan.

Selama ini industri pertambangan dan perminyakan "dipaksa" oleh peraturan perpajakan yang dibuat pemerintah untuk mereekspor peralatan yang telah menjadi besi tua, karena benda itu akan dikenai pajak jika dibiarkan tetap berada di Indonesia.

Demikian diutarakan Direktur Pengusahaan Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Mahyudin Lubis kepada wartawan di Jakarta, Senin (26/4).

Dia memastikan, industri pertambangan dan perminyakan di Indonesia memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan besi tua di Indonesia. Oleh karena itu, Mahyudin mengatakan, jika ingin bisa memenuhi kebutuhan besi tua di dalam negeri, pemerintah harus mengubah kebijakan mengenai peralatan yang harus diekspor kembali. Dengan demikian, setelah menjadi besi tua, benda tersebut bisa dijual kepada pengusaha di dalam negeri, khususnya pengusaha pengecoran logam di Ceper.

Menurut Mahyudin, pengusaha pertambangan dan perminyakan selama ini tunduk pada aturan yang mengharuskan semua barang yang dimasukkan ke dalam negeri diekspor kembali setelah digunakan. Itu sebabnya, meski telah menjadi besi tua, peralatan bekas tersebut terpaksa harus diekspor agar tidak dikenai pajak.

Mengenai bahan baku kokas, Mahyudin mengatakan, pihaknya sedang melakukan kajian untuk memproduksi kokas yang murah dan cocok untuk pengusaha di Ceper. Kajian itu, antara lain, untuk mempercepat kemungkinan memproduksi kokas berbasis batu bara produksi Indonesia.

Saat ini masih diperhitungkan tingkat keekonomian dari harga pokok produksi kokas tersebut. Hasil sementara menunjukkan, produksi kokas cukup potensial untuk membantu pengusaha lokal asalkan didukung perusahaan tambang di dalam negeri.

"Kini kami mengusahakan agar kajian itu bisa cepat dilakukan sebab tidak ingin perusahaan yang mau dibantu sudah telanjur bangkrut," ujar Mahyudin.

Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen ESDM Simon Felix Sembiring menegaskan, masalah yang dihadapi pengusaha pengecoran logam di Ceper bukan kesalahan Departemen ESDM. Sebab, Departemen ESDM hanya mengatur perusahaan yang menyediakan batu bara, sementara industri yang membuat kokas diatur departemen lain.

"Kita ikut prihatin mengenai nasib industri logam di Ceper, tetapi yang mampu kami lakukan hanyalah menjamin pasokan batu bara bagi industri kokas yang ada di dalam negeri. Jadi, Departemen ESDM tidak pernah mengatur masalah industri kokas nasional, kecuali memikirkan bahan baku batu bara," ujar Simon.

Harus pro-aktif

Produsen kokas dari PT Irsan, Sarman, mengatakan, produsen pengecoran logam perlu proaktif mengatasi hambatan bisnis dengan memanfaatkan tawaran pasokan besi bekas dan kokas dari produsen lokal.

Selain itu, produsen pengecoran logam harus menyiasati strategi usaha dengan menjalin hubungan usaha dengan produsen bahan baku secara lebih luas dan melihat perkembangan perdagangan baja di dunia.

"Saya sudah kirim satu ton kokas ke Ceper untuk contoh. Saya masih menunggu kabar dari produsen di Ceper. Kalau mereka mau memesan, saya siap memasok," kata Sarman. Ia menambahkan, harga kokas yang diproduksikannya sekitar Rp 4.000 per kilogram atau lebih murah Rp 2.000 dari harga kokas kini, yakni Rp 6.300/kg.

Menurut Sarman, pihaknya dapat memproduksikan kokas sebanyak 3.000 ton per bulan. Namun, untuk meningkatkan kapasitas produksi, diperlukan pembiayaan dari perbankan. Persoalannya, perbankan pun masih menutup sebelah mata untuk memberikan pembiayaan kepada sektor industri kokas yang digelutinya.

"Alasan pihak perbankan antara lain tidak ada industri pembanding, sehingga sulit menilai tingkat risiko," kata Sarman. Selain itu, pihak perbankan pun belum memahami sektor industri kokas. Selama tidak ada pembiayaan, produksi kokas pun akan menjadi terhambat. Padahal, pangsa pasar kokas dalam negeri sangat besar.

Direktur Utama PT Apac Inti Corpora (PT AIC) Benny Soetrisno mengungkapkan, pihaknya sudah menyiapkan 1.000 ton scrap untuk produsen pengecoran logam yang membutuhkan. "Namun, kabarnya, mereka (produsen pengecoran logam di Ceper-Red) hanya bisa menyerap 10 persen sampai 15 persen," katanya.

Meskipun demikian, lanjut Benny, pihaknya tetap akan melakukan lelang besi tua sebanyak 1.000 ton dalam waktu dekat. Karena dilelang, peserta lelang tidak hanya produsen pengecoran logam di Ceper. "Siapa pun bisa ikut, termasuk produsen di Ceper," katanya.

Direktur Jenderal Industri dan Dagang Kecil Menengah (IDKM) Departemen Perindustrian dan Perdagangan Zaenal Arifin mengungkapkan, produsen pengecoran logam di Ceper belum dapat menyerap scrap dari PT AIC karena besinya terlalu besar. "Besinya harus dilebur. Alat pemotongan dan tungku dari produsen di Ceper masih terbatas," katanya.

Oleh karena itu, menurut Zaenal, pihaknya akan memfasilitasi dengan meminta bantuan industri besar besi baja untuk melakukan peleburan. Dengan demikian, scrap yang belum dapat digunakan dapat diolah dan dimanfaatkan produsen pengecoran logam.

Zaenal menambahkan, untuk jangka pendek, pasokan scrap sudah dapat diperoleh dari PT AIC sebanyak 1.000 ton dan delapan industri besi baja yang mempunyai stok scrap sekitar 4.000 ton. Selain itu, masih dijajaki kemungkinan dilakukan imbal beli antara PT Kereta Api (PT KA) dan produsen pengecoran logam.

Untuk kokas, lanjutnya, perusahaan di Taiwan menawarkan kokas 5.000 ton. Selain itu, industri kokas di Kalimantan Selatan siap memasok 10 ton per minggu. (BOY/fer/ETA)

sumber: