Pasokan Batu Bara Mulai Dicemaskan

 

Jakarta, Kompas - Kalangan produsen semen mulai mengkhawatirkan jaminan pasokan batu bara sebagai sumber bahan bakar, menyusul kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah China untuk melarang ekspor dan sekaligus meningkatkan impor batu bara. Pengusaha mendesak pemerintah menjamin pasokan batu bara, bila perlu melarang ekspor batu bara seperti yang dilakukan Pemerintah China.

Kekhawatiran produsen semen diutarakan Direktur Pengusahaan Mineral dan Batu Bara Mahyudin Lubis kepada wartawan di Jakarta, Senin (15/3). Mahyudin mengatakan, pihak Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan akan bertemu pada hari Kamis untuk membicarakan masalah yang dihadapi produsen semen.

Menurut Mahyudin, sebenarnya pengusaha lokal tak perlu khawatir dengan pasokan batu bara karena jumlah produksi Indonesia cukup besar. Jumlah produksi pada tahun 2003 mencapai 112 juta ton dan tahun 2004 diproyeksikan akan mencapai 135 juta ton.

Sementara itu, kebutuhan pabrik semen relatif kecil, hanya sekitar 4,7 juta ton per tahun. Sementara pemakai batu bara terbesar di dalam negeri adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mencapai 20 juta ton per tahun.

"Jadi, kalau tidak mau khawatir kekurangan pasokan batu bara, sebaiknya industri di dalam negeri melakukan pembelian dengan kontrak jangka panjang. Hal itu seperti yang dilakukan oleh pengusaha di luar negeri dengan produsen batu bara," ujar Mahyudin.

Sementara itu, Corporate Secretary PT Semen Gresik Tbk Soebagyo mengatakan, pihaknya tidak mengkhawatirkan pasokan batu bara untuk jangka pendek karena sudah memiliki kontrak pembelian. Namun, untuk jangka panjang, belum ada jaminan pasokan.

Menurut Soebagyo, produsen sebenarnya ingin membuat kontrak jangka panjang dengan produsen batu bara, tetapi tak ada perusahaan yang bersedia. Hal itu disebabkan harga yang tidak menentu di pasar spot sehingga penghasil batu bara tidak bersedia membuat kontrak jangka panjang.

"Kemungkinan produsen batu bara hanya mau membuat kontrak jangka panjang jika penjualan dipatok dengan harga yang relatif tinggi. Oleh karena itu, pengusaha batu bara lebih senang menjual dengan kontrak jangka pendek karena mengetahui harga akan naik terus," ujar Soebagyo.

Dia juga menambahkan, pemerintah harus mengambil keputusan ekstrem, misalnya menghentikan ekspor dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Pasalnya, bila kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi akan menyebabkan biaya tinggi. Misalnya, kalau PLTU tidak mendapat batu bara, listrik akan naik. Kalau industri semen tidak dapat batu bara, harga akan naik karena terpaksa menggunakan listrik. Industri pemakai batu bara lainnya juga akan terpengaruh.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Bambang Susanto juga mengatakan, pemerintah sudah saatnya membuat kebijakan baru mengenai kewajiban pengusaha batu bara memenuhi kebutuhan domestik. Jadi, semua bagian pemerintah dari batu bara tidak dalam bentuk tunai, tetapi sebagian dalam bentuk batu bara.

Menurut Bambang, kini pemerintah dan pengusaha harus mulai memikirkan strategi baru untuk pengadaan bahan bakar batu bara. Krisis batu bara karena China tak mau mengekspor lagi memberikan peringatan untuk jangka panjang.

"Kebutuhan batu bara di dunia cukup tinggi, negara Filipina saja membutuhkan 10 juta ton per tahun untuk masa datang. Selain itu, negara ASEAN, seperti Malaysia dan Thailand juga butuh batu bara dalam jumlah besar," ujar dia.

Peluang

Namun, krisis batu bara yang ditimbulkan oleh China sebenarnya bisa juga dijadikan sebagai peluang bagi produk batu bara Indonesia. Hal itu cukup beralasan mengingat jumlah sumber daya batu bara Indonesia mencapai sekitar 50 miliar ton, dengan cadangan terbukti yang siap dimanfaatkan selama 50 tahun.

Menurut Bambang, dengan terhentinya ekspor batu bara China, para pelanggannya akan mencari sumber baru dari mana saja. Indonesia yang selama ini menjadi pemasok ke Korea, Jepang, dan Taiwan tentu dilirik mantan negara konsumen batu bara dari China.

Sebenarnya, Pemerintah Indonesia terus meningkatkan pemanfaatan batu bara untuk menurunkan ketergantungan terhadap minyak bumi. Apalagi cadangan terbukti minyak hanya cukup untuk 10 tahun dan gas bumi hanya cukup untuk 30 tahun.

Saat ini pemanfaatan batu bara di dalam negeri masih terbatas, baru mencapai 13 persen dari total energi mix. Di sektor kelistrikan, pangsa batu bara terlihat lebih baik, yaitu sekitar 34 persen dari total energi yang digunakan.

Upaya meningkatkan pangsa batu bara sering terhambat masalah teknis dan lingkungan. Namun, hal itu dapat diatasi melalui pemanfaatan teknologi untuk membakar batu bara secara bersih. Teknologi tersebut terus berkembang pesat. (BOY)

sumber: