Pasok batu bara ke PLTU Suralaya terancam seret
Pasok batu bara ke PLTU Suralaya terancam seret
Bisnis, 29-8-2005
ÂÂ
CILEGON: Pasok bahan bakar batu bara di PLTU Suralaya tahun depan terancam langka, menyusul membaiknya harga sumber energi itu di pasar internasional yang memicu peningkatan ekspor terkait.
Mengutip ungkapan General Manager PLTU Suralaya Bambang Susianto, sinyal ancaman kelangkaan bahan bakar itu sudah tampak pada tahun ini, menyusul menurunnya pasokan batu bara dari pemasoknya.
"Kebutuhan setahun kira-kira 12-13 juta ton. Dulu semua terpenuhi dari PTBA [PT Tambang Batubara Bukit Asam], tapi sekarang dari PTBA hanya 6,1 juta ton per tahun. Sisanya kami harus cari dari produsen lain," ujarnya akhir pekan lalu.
Untuk menutup separuh kebutuhan per tahun itu, PT Indonesia Power--anak perusahaan PLN--yang mengoperasikan tujuh unit pembangkit di Cilegon itu juga berkontrak dengan tiga perusahaan tambang, yaitu PT Kideco Jaya Agung, PT Arutmin Indonesia, dan PT Berau Coal.
Penurunan pasokan itu pun berlanjut akhir-akhir ini menyusul berkurangnya pasokan PTBA yang seharusnya 500.000 ton per bulan menjadi 400.000-450.000 ton saja per bulan.
Apalagi, kata Bambang, harga batu bara yang ikut naik akibat meroketnya harga minyak dunia juga memicu persoalan lain terkait harga beli batu bara Suralaya.
Sejumlah produsen pun telah meminta kenaikan harga beli dari pembangkit tersebut.
"Produsen sudah minta harga naik sekitar Rp350.000-Rp400.000 per ton. Ini akan menambah biaya produksi kami Rp1 triliun per tahun. Itu sulit. Mungkin perusahaan tambang itu akan memilih dijual ke pasar asing daripada disuplai ke Suralaya."
Saat ini, kontrak suplai batu bara PTBA ditetapkan dengan harga beli sekitar Rp272.000 per ton atau US$27-US$28 per ton untuk kualitas kalori sekitar 5.100 kcal. Padahal harga di pasar internasional untuk kualitas yang sama sudah berkisar US$38-US$40 per ton.
Dengan kondisi harga demikian, PT Indonesia Power harus mengeluarkan sekitar Rp3,3 triliun untuk belanja batu bara per tahun. Kebutuhan itu diperkirakan bertambah sekitar Rp1,2 triliun jika harga bahan bakar itu meningkat hingga Rp350.000 per ton.
Bambang meminta pemerintah juga memperhatikan masalah ini mengingat tujuh unit pembangkit berkapasitas total 3.700 MW itu menanggung beban utama untuk suplai di sistem interkoneksi Jawa-Bali.
Menurut dia, pemerintah perlu menetapkan domestic market obligation untuk mencukupi kebutuhan batu bara domestik, terutama di sektor pembangkitan listrik. "Jadi jelas ada pasokan untuk kami karena produsen batu bara juga sulit memberikan garansi suplai ke Suralaya."
Pembangkit nuklir
Sementara itu, manajemen PT PLN menilai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir dapat mengatasi krisis listrik yang terjadi akibat kelangkaan dan tingginya harga BBM.
Namun, supaya pendirian pembangkit listrik yang tertunda-tunda itu tidak membebani anggaran pemerintah, sebaiknya swasta diizinkan membangun, mengoperasikan, dan memiliki PLTN.
"PLN bersedia mencarikan mitra swasta dari dalam dan luar negeri yang mempunyai visi dan misi [mendirikan PLTN] bagi kepada kepentingan publik," ujar Dirut PLN Edie Widiono Suwondho di Jakarta akhir pekan lalu.
Menurut Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2006-2016 neraca daya sistem Jawa-Madura-Bali (Jamali) akan mengalami defisit sedikitnya 127 MW pada tahun depan. (aprika. hernanda@bisnis.co.id & ismail.fahmi@bisnis.co.id)
Oleh Aprika R. Hernanda & Ismail Fahmi
Bisnis
ÂÂ