Pasca-Perpu Kehutanan, Izin Eksploitasi Tambang di Hutan Lindung Diperketat
Berbicara kepada wartawan di Jakarta hari Jumat (12/3), Menteri Kehutanan (Menhut) M Prakosa mengemukakan, dengan pemberian izin eksploitasi secara ketat sesuai rencana perusahaan tambang yang ada, maka akan dilakukan pengawasan yang juga ketat agar perusahaan tambang tidak dapat membuka sekaligus seluruh areal konsesinya yang berada di areal hutan lindung. "Mereka hanya mungkin membukanya secara bertahap sesuai dengan rencana eksplorasi yang ada," ujarnya.
Pemberian peluang menambang di hutan lindung yang diatur dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 11 Maret 2004, menurut Prakosa, bukan sesuatu yang berarti bahwa Departemen Kehutanan kalah dalam hal melindungi hutan lindung. Menurutnya, semua ini merupakan amanat UU bahwa ada kontrak karya yang ditandatangani pemerintah dengan perusahaan tambang sebelum UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan itu disetujui.
"Kondisi tersebut yang harus dicari solusinya secara tepat karena kontrak karya itu menyangkut juga perjanjian investasi dengan perusahaan internasional," ujarnya.
Karena itu, menurut Prakosa, untuk mencegah agar kebijakan ini tidak menjadi preseden buruk di belakang hari, maka akan dikeluarkan keppres agar tidak timbul polemik dan izin ini hanya diberikan kepada 13 perusahaan tambang yang ada.
Prakosa menjelaskan, 13 perusahaan tambang yang ada ini diizinkan melanjutkan kegiatannya di areal konsesi hutan lindung setelah dibuat kriteria yang tepat, antara lain menyangkut kontrak karya yang meliputi perjanjian investasi dengan perusahaan internasional. Di antara 13 perusahaan tambang ini ada PT Freeport
Tetap menjaga
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan
Justru yang perlu dikhawatirkan oleh pemerintah adalah kegiatan penambangan tanpa izin yang sudah merusak areal hutan, termasuk hutan lindung. Bahkan, kerusakan yang sudah ditimbulkan tidak dapat dikendalikan lagi.
Sementara kalangan pencinta lingkungan menanggapi kehadiran perpu sebagai bentuk ketidakpedulian Presiden Megawati Soekarnoputri terhadap permasalahan lingkungan. Komentar yang dihimpun dari Greenomics Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Tambang (Jatam), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyebutkan perpu tersebut berpotensi menjadi preseden buruk di bidang kehutanan.
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mempertanyakan seberapa mendesaknya perpu itu. "Suatu perpu dikeluarkan jika kondisi negara dalam keadaan darurat. Kelanjutan kegiatan tambang di hutan lindung tidak mencerminkan itu," kata Elfian.
Hal senada dikemukakan Direktur Eksekutif ICEL Indro Sugianto. "Tidak ada satu alasan pun yang dapat membenarkan keputusan pemerintah untuk mengeluarkan perpu itu," ujar Indro.
Sementara Direktur Eksekutif Walhi Longgena Ginting mengemukakan bahwa dikeluarkannya perpu itu benar-benar menunjukkan pemerintahan Megawati tidak peduli pada berbagai masalah lingkungan di negeri ini.
Menurut Koordinator Nasional Jatam Siti Maimunah, dengan perpu ini, pemerintah secara gamblang telah melangkahi proses yang telah disepakati bersama dengan DPR