Panggung sandiwara Newmont : Bagian terakhir dari dua tulisan

Norwatch menuding Freeport menimbulkan masalah lingkungan yang sangat besar. Setiap hari, bagian tertua dari perusahaan tambang itu membongkar Gunung Iceberg dan membuang limbah beracun 110.000 ton per hari ke Sungai Aykwa.

Sedangkan areal pertambangan baru di Gunung Gras-berg membuat Freeport sebagai perusahaan tambang yang memindahkan kuantitas massa terbesar di seluruh dunia. Sedikitnya 2,5 juta hektare hutan hujan tropika dan wilayah penduduk asli terkena polusi dan bahkan pejabat setempat telah memperingatkan penduduk lokal untuk tidak memakan sagu yang merupakan makanan pokoknya.

Sikap dua muka atau standar ganda Amerika di bidang lingkungan memang terlihat sejak lama. Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Bush, misalnya, tidak mau menandatangani Protokol Tokyo Tahun 1997 yang bertujuan untuk mencegah peningkatan panas global akibat efek rumah kaca.

Penolakan Protokol Tokyo oleh pemerintahan Bush dianggap sebagai langkah yang sama sekali tidak populer, dan mendapat kecaman luas dari dalam maupun luar negeri. Apalagi masyarakat Amerika dan masyarakat internasional se-dang gencar-gencarnya berjuang bagi keselamatan lingkungan hidup.

Tapi di sisi lain seperti pada umumnya negara Barat, mereka menerapkan standar lingkungan seperti Ekolabeling, ISO 14000 dan sebagainya sebagai cara untuk membarikade pasarnya terhadap ekspor negara berkembang.

Sebaliknya Amerika dan sekutu Baratnya, juga menuding negara tropis seperti Indonesia sebagai perusak lingkungan karena membabat hutan, merusak ozon dan sebagainya.

Kalau memang Amerika dengan Boyce-nya dan Newmont ingin membantu rakyat Indonesia, seharusnya mereka ikut mensejahterakan rakyat sekitar areal pertambangan.

Sudah bukan rahasia lagi, kawasan pertambangan mereka ibarat hotel mewah yang dibangun di kawasan kumuh.

Warga kawasan kumuh harus mengais-ngais sampah untuk mencari remah-remah roti sisa sampah buangan hotel mewah.

Kalau Amerika sungguh-sungguh ingin mensejahterakan rakyat sekitar lokasi pertambangan, bukan soal sulit benar untuk memukimkan mereka dengan kehidupan yang lebih layak bagi ke-manusiaan.

Tapi musibah Buyat telah terjadi. Kalau Kedubes Amerika agak sedikit tanggap, seharusnya begitu mendengar satu perusahaannya menimbulkan kerusakan lingkungan dan menyebabkan ratusan orang di sekitarnya menderita, langsung mengadakan gerakan sosial.

Boyce baru tampak seperti kebakaran jenggot ketika pimpinan NMR ditahan Mabes Polri. Tapi anehnya dalam program penyelamatan Ness Cs itu, sama sekali tidak dianggarkan biaya untuk warga Teluk Buyat yang menderita. Apakah Mabes Polri menderita karena kasus Teluk Buyat, sehingga harus dibantu?

Suatu keanehan. Warga Teluk Buyat tersaruk-saruk karena tailing Newmont, tapi orang lain yang dibantu.

Oleh Agus S. Soerono
Wartawan Bisnis Indonesia

sumber: