Pajak Pertambangan Tinggi Turunkan Minat Investasi

Investor, 25 Januari 2005

 

Jakarta, investorindonesia.com

Total pajak yang harus dibayarkan perusahaan pertambangan di Indonesia sangat tinggi mencapai 60 persen, sehingga menurunkan minat investasi di sektor tersebut. Untuk membuat Indonesia lebih menarik bagi investasi di sektor pertambangan, maka total komponen pajak harus diturunkan menjadi sekitar 36 persen.

Demikian dikatakan Ketua Kadin Indonesia Bidang Pertambangan Kusumo AM di sela-sela tanggapan Tim Monitoring Kadin soal pelaksanaan Inpres Nomor 5 Tahun 2003 mengenai paket kebijakan ekonomi pasca IMF, di Jakarta, Menurut dia, komponen pajak pertambangan di negara lain di bawah 30 persen. Oleh karena itu, setidaknya total pajak pertambangan di Indonesia antara 36 sampai 40 persen.

Dijelaskannya, Indonesia sebenarnya merupakan negara yang menarik untuk investasi di sektor pertambangan, karena deposit (simpanan) hasil tambangnya termasuk dalam 10 negara terbesar di dunia.

Namun, karena tidak didukung oleh iklim usaha dan perundang-undangan yang kondusif, maka investasi pertambangan relatif kecil hanya sekitar 1,0 persen dari total investasi dunia di sektor pertambangan yang jumlahnya mencapai miliaran dolar AS.

"Jumlahnya (investasi di sektor pertambangan) hanya beberapa puluh juta dolar AS selama ini," katanya tanpa menyebutkan angka persis.

Itu artinya, deposit tambang yang tinggi tidak akan menarik orang melakukan investasi, bila tidak disertai iklim yang baik, seperti komponen pajak yang terlalu tinggi dan kepastian hukum.

"Investasi pertambangan merupakan investasi padat modal dan padat teknologi, karena itu kepastian hukum juga menjadi salah satu pertimbangan utama untuk kepastian berusaha melakukan penambangan," ujarnya.

Akibat ketidakpastian hukum di Indonesia selama ini pula, menurut Kusumo, yang menyebabkan sejumlah perusahaan pertambangan besar internasional hengkang dari Indonesia.

Dikatakan, Indonesia pernah menjadi "pujaan" yang menarik investor asing masuk ke sektor pertambangan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan, namun seiring dengan perkembangan dunia dan Indonesia tidak pernah lagi memperbaikinya undang-undang tersebut maka Indonesia menjadi kurang menarik bagi investor.

Ketua Harian Tim Monitoring Kadin untuk Pelaksanaan Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Pasca IMF, Sofyan Wanandi dalam tanggapan tim tersebut menyebutkan pemerintah harus mampu membersihkan dualisme perundang-undangan antara undang-undang yang dibentuk pemerintah pusat dengan daerah untuk meningkatkan investasi di sektor minyak, gas, energi, maupun pertambangan.

Untuk itu, Tim Monitoring Kadin menilai perlunya prioritas tindakan pemerintah untuk menyelesaikan Peraturan Pemerintah pendukung Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang menyangkut Migas, amandemen Undang-Undang Nomor!! Tahun 1967 tentang pertambangan, dan menetapkan harga energi dengan merubah secara gradual harga energi untuk merefleksikan biaya yang sebenarnya.

sumber: