Neraca Perdagangan 2003 Surplus US$28 Miliar

 

JAKARTA (Media): Surplus neraca perdagangan internasional Indonesia pada 2003 mencapai US$28,63 miliar atau tumbuh 10,677% dibanding periode 2002 sebesar US$25,868 miliar. Pertumbuhan tersebut lantaran kinerja ekspor sepanjang 2003 mengalami peningkatan, sehingga semakin besar peluang terjadinya peningkatan nilai ekspor pada tahun-tahun mendatang.

"Ini berarti selama 2003 ekspor menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan 2001 dan 2002," ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Soedarti Surbakti, saat menjelaskan kinerja neraca perdagangan internasional Indonesia, di Jakarta, kemarin.

Dalam penjelasan itu disebutkan, nilai ekspor Indonesia pada 2003 mencapai US$61,023 miliar atau meningkat 6,76% dibanding nilai ekspor 2002 sebesar US$57,158 miliar. Sedangkan nilai impor pada 2003 mencapai US$32,39 miliar, atau naik 3,52% dibanding periode 2002 sebesar US$31,29 miliar.

Selain itu, BPS mencatat nilai ekspor pada Desember 2003 kembali menembus angka US$5 miliar yakni US$5,225 miliar, atau meningkat 5,93% dibanding nilai ekspor November 2003 sebesar US$4,933 miliar. "Peningkatan ekspor Desember 2003 disebabkan meningkatnya ekspor nonmigas 4,75% yaitu dari US$3,837 miliar menjadi US$4,085 miliar, dan ekspor migas naik 10,23% dari US$1,059 miliar menjadi US$1,1675 miliar," tegasnya.

Mengenai laju inflasi, Soedarti menjelaskan, inflasi Januari 2004 mencapai 0,57%. Laju inflasi Januari 2004 ini lebih kecil dibanding Januari 2003 yang mencapai 0,80% dan Januari 2002 sebesar 1,99%. Dengan demikian, laju inflasi tahunan (Januari 2003 hingga Januari 2004) mencapai 4,82%. "Terjadinya inflasi awal 2004 disebabkan adanya kenaikan harga pada semua kelompok barang dan jasa," jelas Soedarti.

Berkaitan ekspor nonmigas, menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), sumbangan sektor UKM terhadap nilai ekspor nasional rata-rata mencapai 20%-25% dari nilai total ekspor. Sejalan dengan upaya meningkatkan peranan UKM tersebut, kemarin, bertempat di Bank BRI bekerja sama dengan PT Telkom dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) serta dibantu pemerintah Korea melakukan sinergi mendirikan Pusat Pengembangan UKM di 18 cabang BRI yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Dengan adanya Pusat Pengembangan UKM ini diharapkan akses UKM terhadap pasar menjadi semakin tinggi sehingga meningkatkan kelancaran bisnis UKM dan menambah nilai ekpsor," ujar Dirut BRI Rudjito.

Pungutan ekspor

Dalam kesempatan terpisah, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pungutan Ekspor dinilai mengancam kelangsungan ekspor dan pertumbuhan investasi. Kebijakan ini dianggap kontra produktif terhadap upaya peningkatan kenerja ekspor yang berpengaruh terhadap pemulihan ekonomi secara keseluruhan.

Demkian tanggapan Indef (Institute for Development of Economics and Finance) atas RPP Pungutan Ekspor. "Kebijakan ini hanya akan menambah alasan bagi para investor untuk tidak menanamkan modalnya di Indonesia," ujar Direkur Indef M Fadhil Hasan.

Rancangan tersebut adalah implementasi dari UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam UU tersebut, pajak ekspor ditetapkan sebagai salah satu objek PNBP. Pemerintah melalui RPP ini menderegulasi ulang peraturan pemerintah yang selama ini mengatur pajak ekspor. "Dengan kata lain, pemerintah ingin menganti istilah pajak menjadi pungutan," ujar Rosediana Soeharto, Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) adalah pihak yang paling keras menolak pengesahan RPP Pungutan Ekspor ini. Bahkan secara khusus Derom Bangun, Ketua GAPKI, mengirim surat kepada Presiden Megawati yang isinya menyatakan penolakan.

"Sangat jelas RPP ini ditujukan secara khusus untuk menarik pungutan dari ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Soalnya hanya CPO yang berpotensi. Bagaimana mungkin pemerintah menarik pungutan dari kakao, ataupun kopi yang nilai ekspornya masih sangat kecil," ujar pengusaha CPO Maruli Gultom.

Terlepas dari masalah pungutan ekspor tersebut, pengusaha nasional memang belum mampu memanfaatkan secara optimal peluang pasar internasional, khususnya di kawasan Eropa Timur. Saat ini total nilai ekspor produk Indonesia ke 20 negara Eropa Timur baru sekitar US$800 juta.

"Marketing activity pengusaha Indonesia sangat rendah. Masih terngantung kepada pemerintah. Hasil penelitian Japan International Cooperation Agency (JICA) juga mengungkapkan hal ini," ujar Nus Nuzulia Ishak, Direktur Pusat Pengembangan Pasar Wilayah Eropa. (JA/PP/E

sumber: