Negara Rugi 2,7 Juta Dolar AS Akibat Freeport Berhenti Operasi

Negara Rugi 2,7 Juta Dolar AS Akibat Freeport Berhenti Operasi

Suara Karya, 24 Februari 2006


JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah berharap kasus PT Freeport dapat segera selesai karena merugikan negara sekitar 2,7 juta dolar AS per hari. Freeport menghentikan operasi setelah warga setempat melakukan protes perlakuan pihak keamanan yang melarang penambangan warga di lokasi tailing.

"Pemerintah berharap masalah ini bisa secepatnya diselesaikan, agar kehilangan pendapatan tidak semakin banyak," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro usai raker Pansus RUU Mineral dan Batu bara Komisi VII DPR di Jakarta, Kamis (23/2).

Menurut Purnomo, pemerintah bersama aparat kepolisian akan berupaya mengamankan objek vital tersebut. Dengan usaha itu, diharapkan Freeport dapat melanjutkan produksi.

"Saat ini saya bersama Menko Polhukam, Kapolri dan Panglima TNI terus melakukan langkah-langkah koordinasi penyelesaian termasuk pengamanannya, karena Freeport ini termasuk salah satu objek vital nasional," kata Purnomo.

Sementara itu, Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Simon Sembiring mengakui, berhentinya operasi PT Freeport akan merugikan negara sekitar 2,7 juta dolar AS. Perkiraan tersebut melihat rata-rata penerimaan negara dari Freeport yang mencapai sekitar 1 miliar dolar per tahun. "Jadi, bisa dihitung berapa kehilangan pendapatan negara dari Freeport per harinya," ujarnya.

Ia menjelaskan, setiap hari, Freeport memroduksi konsentrat mencapai 12,5 ton. Dari konsentrat itu, hasil emas mencapai 30 gram per ton dan tembaga sekitar empat ton.

Penerimaan negara dari Freeport tersebut di antaranya berupa royalti, retribusi, pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Besar royalti dihitung berdasarkan formula secara progresif yang mengikuti kecenderungan harga emas di pasar internasional.

Ketua Komisi VII DPR Agusman Effendi juga meminta pemerintah melakukan langkah-langkah pengawasan dan pembinaan menggunakan UU yang ada yakni UU No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan.

"Seharusnya, persoalan itu tidak perlu terjadi kalau sudah ada UU Mineral dan Batu bara yang masih dibahas ini. Namun, karena UU baru belum ada, pemerintah bisa memakai UU yang lama dulu," katanya.

Simon menambahkan, kasus Freeport tersebut merupakan masalah nasional karena menyangkut banyak pihak dan begitu kompleks.

"Hal ini terjadi juga karena banyaknya orang yang menganggur, sehingga terpaksa menjadi penambang ilegal. Kalau masyarakat sudah sejahtera, maka mereka tentu tidak mau mencuri," katanya.

Mengenai apakah kejadian ini merupakan force majure (keadaaan darurat), Simon mengatakan, kondisi yang terjadi saat ini belum ditetapkan sebagai force majeur, namun tidak menutup kemungkinan jika hal ini terus terjadi maka status tersebut bisa diberlakukan untuk menghindari penyalahgunaan kontrak dengan para pembeli.

"Menurut pemerintah, kondisi ini belum ditetapkan sebagai force majeur. Apakah kontrak Freeport dengan para pembeli merupakan force majeur atau tidak, tergantung isi perjanjian kontraknya," ujar Simon Sembiring.

sumber: