Nabiel: Perpu 1/2004 kecelakaan LH
![]() |
![]() | |||
![]() |
|
JAKARTA (Bisnis): Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menegaskan peninjauan kembali 13 kontrak karya (KK) proyek pertambangan di areal hutan lindung merupakan kecelakaan bagi lingkungan hidup (LH). Untuk itu, dia berharap agar pemerintah tidak lagi memberikan izin baru untuk eksplorasi lahan tambang di areal hutan lindung. Karena dengan 13 KK pengolahan di areal itu diperkirakan daya rusak terhadap lingkungan cukup mengkhawatirkan . "Jadi kita anggap ini sebagai kecelakaan negara. Setelah ini, izin pengolahan tambang di hutan lingung harus di stop," ujarnya di Jakarta kemarin. Seperti diberitakan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 1/2004 tentang perubahan UU 41/1999 tentang Kehutanan, pekan lalu. Dalam perpu itu, pemerintah memprioritaskan 13 KK pertambangan untuk dilanjutkan aktivitas pertambangan di areal yang tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung. Alasannya, kontrak pertambangan telah ditandatangani jauh sebelum UU Kehutanan disahkan. Pertimbangan lain, ke-13 KK telah selesai melakukan eksplorasi dan masuk ke tahap eksploitasi (produksi). Bila izin tidak diberikan, dikhawatirkan akan menimbulkan keraguan bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, pemerintah tidak dirinci nama-nama 13 perusahaan yang diperbolehkan melanjutkan proyek di hutan lindung. Berdasarkan siaran pers yang dilansir Koalisi Ornop untuk Penolakan Tambang di Hutan Lindung tercatat 22 perusahaan yang akan melalui proses/mekanisme pasal 19 UU No. 41/1999 yang diajukan pemerintah ke DPR pada 19 November 2003. Akan memonitor Menneg LH berjanji instansinya akan memonitor pelaksanaan eksplorasi 13 KK pertambangan di hutan lidung itu. "Jika ternyata dalam prosesnya ke-13 kontrak karya itu melakukan perusakan terhadap lingkungan di areal tumpang tindih kawasan hutan lindung dan pertambangan, maka saya akan menghentikan." Menurut Nabiel, pemerintah memang tidak memiliki pilihan lain karena 13 KK pertambangan, dari 22 KK yang ada, telah diteken sebelum dikeluarkan UU No.41/1999. "Dalam perjanjian internasional, saya sudah cek, tidak ada peraturan yang mundur (berlaku surut)," ujarnya. Karena itu, bila ingin membatalkan KK tersebut, pemerintah harus membayar ganti rugi atas investasi yang telah dikeluarkan. Masalahnya, pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar ganti rugi tersebut. "Ini memang kasus, mudah-mudahan tidak terjadi lagi." Kendati demikian, Nabiel meminta kasus ini sebagai kasus terakhir. Dia berharap tidak ada lagi pemberian izin tambang di areal yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung. Izin cukup diberikan pada 13 KK yang menjadi prioritas, yang akan diperjelas dalam Keppres. Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Soetisna Prawira, mengatakan saat ini pihaknya tengah menyusun rancangan Keppres. Dalam waktu dekat rancangan itu akan segera diajukan ke Sekretariat Negara. Namun dia menolak menyebutkan 13 nama perusahaan yang diberikan izin tambang. "Sama seperti yang dulu. Kami mengacu pada surat Menko Perekonomian kepada Presiden." Dia menyebutkan sebelumnya pemerintah mengajukan 22 perusahaan untuk diberikan izin. Dalam perkembangannya, hanya 13 perusahaan yang diprioritaskan, karena telah masuk ke tahap produksi dan memenuhi syarat keekonomian. Sedangkan sembilan perusahaan sisanya, belum menyelesaikan eksplorasi, sehingga batas-batas wilayahnya belum bisa ditentukan. (dj) |
![]() |
|