MK Uji UU Penambangan di Hutan Lindung:

Pemerintah Belum Jelaskan Situasi Kegentingan yang Mendasari Penerbitan Perppu

Suara Pembaruan, 16 Februari 2005

 

JAKARTA - Sidang pertama uji materiil (judicial review) UU 19/2004 tentang Penambangan di Hutan Lindung terhadap UUD 1945 digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa (15/2). Permohonan uji materiil diajukan oleh sekitar 80 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perorangan, yang tergabung dalam Koalisi Penolakan Alih Fungsi Kawasan Lindung untuk Pertambangan.

MK mengabulkan permohonan itu dan menjadwalkan persidangan melalui keputusan dengan register No 003/PUU-III/2005 tanggal 18 Januari 2005. UU No 19/2004, yang sebelumnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2004, merupakan pengganti dari UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Dikeluarkannya Perppu dan kemudian disahkan menjadi UU No 19/2004 dimaksudkan untuk mengakhiri polemik tumpang-tindih kawasan hutan lindung dengan areal pertambangan.

Namun seperti diungkapkan kembali oleh Adi Widyanto dari Divisi Advokasi Jaringan Tambang (Jatam) kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (14/2), proses keluarnya UU No 19/2004 itu janggal. Sejak mencuatnya persoalan tumpang-tindih, yang muncul setelah lahirnya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, sudah tampak banyak kejanggalan, yang sayangnya hal itu justru dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengakali aturan yang ditetapkan dalam UU Kehutanan.

Kalangan LSM dan pemerhati kehutanan menilai, pemerintah tidak mempunyai sikap yang tegas dalam menyelesaikan polemik sehingga menjadi berlarut-larut. Disayangkan pula, karena pada akhirnya pemerintah lebih memilih menutup polemik tersebut dengan mengeluarkan Perppu untuk menggantikan UU Kehutanan. Tujuannya, agar operasional pertambangan di kawasan hutan lindung, yang terbentur oleh UU Kehutanan itu, terutama bagi 13 perusahaan tambang dapat dilanjutkan.

"Tetapi, sampai sekarang pemerintah belum dapat menjelaskan, situasi kegentingan yang bagaimana sehingga harus mengeluarkan Perppu. Lebih ironis lagi, DPR menyetujui Perppu itu menjadi UU. Sejak awal proses lahirnya peraturan itu, tidak benar. Karena itu Koalisi LSM mengajukan judicial review," kata Adi.

Suap Anggota DPR

Senada dengan itu Amunuddin Kirom dari Divisi Hubungan Media dan Pemberitaan Jatam menambahkan, melalui judicial review UU No 19/2004 diharapkan perhatian masyarakat terhadap "akal-akalan" yang dilakukan pemerintah yang hanya memihak pada pemodal besar (investasi), menjadi lebih besar.

"Di sini kami bukan hanya ingin menunjukkan bahwa proses keluarnya UU ini tidak benar. Tetapi, juga mengajak semua pihak lebih peduli terhadap nasib hutan lindung yang akan dikorbankan untuk pertambangan. Seharusnya, pemerintah belajar dari banyak kejadian bencana yang terjadi karena hancurnya hutan. Jadi, sangat disesalkan kalau sekarang ini kawasan hutan lindung tetap akan dibuka dan dialihfungsikan untuk pertambangan," katanya.

Selain kalangan LSM, sebelumnya sejumlah anggota DPR yang merupakan anggota Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan Perppu No. 1/2004, menyatakan akan mengajukan uji materiil UU yang disahkan dari Perppu itu, kepada MK. Anggota Pansus tersebut berkeyakinan terdapat banyak penyimpangan dan bahkan ada indikasi suap sehingga Perppu disetujui menjadi UU.

Oleh karena itu, anggota DPR dari beberapa fraksi, ketika itu, meminta maaf kepada publik karena disetujuinya Perppu No 1/2004 menjadi UU. Selain meminta maaf, sebanyak 29 anggota DPR tersebut berjanji akan mengungkap praktik politik uang yang mewarnai pengesahan Perppu menjadi UU dan selanjutnya menyiapkan kajian sebagai bahan untuk mengajukan uji materiil UU itu ke MK

sumber: