Menyusuri Peti Batu Bara di Kalsel: Selalu Lolos dari Jerat Hukum dan UU

 
 
 
Media Indonesia, 14 Juni 2004 - SELALU dipersoalkan, apa perbedaan pengusaha tambang batu bara resmi pemegang izin, dan yang tidak punya izin. Ketua Asosiasi Pertambangan Rakyat (Aspera) Endang Kusmayadi punya jawabannya.
Endang menjelaskan perbedaan peti dan nonpeti, yang legal dan ilegal, hanyalah selembar kertas. "Izin lisan pun boleh juga," tuturnya kepada Media saat ditemui di Restoran Bumbu, Hotel Banjarmasin Indah.
"Hal pertama yang membuat carut-marutnya pertambangan di Kalsel ini adalah tidak adanya tata niaga yang konkret, baik pemerintah pusat maupun provinsi, baik secara lokal maupun regional," ungkapnya.
Kalau menurut Aspera, yang ilegal itu pemilik Perjanjian Kerja Sama Pengusahaan Penambangan Batu Bara (PKP2B), karena mereka mendapatkan PKP2B pada masa Orde Baru yang dinilainya sarat KKN dan monopoli. Sedangkan sekarang, kata Endang, sudah ada Undang-Undang (UU) Anti-KKN, UU Antimonopoli dan UU Otonomi Daerah.
Sementara Aspera, demikian klaim Endang, sangat patuh pada hukum dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Setiap batu bara yang keluar dari kabupaten wajib dilindungi oleh dokumen. Untuk minta dokumen, pengusaha harus bayar royalti dari iuran produksi, reklamasi, sumbangan pihak ketiga. Itu kewajiban dan berbagai dana taktis.
Sementara itu, perusahaan PKP2B enggak mau membayar buat masyarakat, pemerintah provinsi dan kabupaten. Bahkan, ada perusahaan pemegang PKP2B yang belum membayar royalti ke pemerintah provinsi sebesar Rp328 miliar.
"Jangan gara-gara PKP2B masyarakat dihadapkan dengan polisi. Mau tidak mau, polisi menjalankan tugasnya karena PT Arutmin misalnya memiliki PKP2B yang wajib dilindungi," tandas Endang memberi contoh.
PT Arutmin memiliki PKP2B hampir 70.000 hektare (ha). Sementara yang dibebaskan 15.000 hektare dan yang dikerjakan hanya 5.000 hektare.
"Kami setuju bila ada masyarakat yang berada di 15.000 ha itu adalah penambang peti atau liar sekalipun," lanjut Endang.
Sangat meresahkan
Konflik kepentingan antara peti dan nonpeti memang meresahkan semua pihak. Selain para pengusaha yang merasa terampas hak-haknya karena berbagai pungutan wajib mulai dari hulu sampai hilir, juga dikeluhkan oleh seorang perwira polisi dari jajaran Polda Kalsel yang banyak menangani kasus peti. "Kadang kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa, karena peti sudah mendarah daging," tuturnya kepada Media di Coffee Shop Swissbel, Hotel Borneo, Banjarmasin.
Menurut pengakuannya, sebenarnya polisi dan jajarannya sudah bekerja habis-habisan untuk memerangi peti. Berkali-kali menangkap seseorang berdasarkan bukti-bukti yang ada, yang lantas dilimpahkan ke kejaksaan dan pengadilan. Namun, tampaknya berbagai kasus ini terus menguap dan diselesaikan di bawah meja.
"Bagaimanapun pengadilan memiliki kewenangan tersendiri dalam memutuskan perkara," ungkapnya sambil menyeruput kopinya. "Yang terjadi, kebanyakan dari kasus-kasus itu menguap, atau bahkan bebas begitu saja," lanjut pria berkumis dan berbadan gempal kelahiran Sumatra ini.
Tak bisa dinafikan, memang benar ada permainan mulai (oknum) penegak hukum hingga pengadilan. "Sudah, tulis saja, (oknum) polisi juga banyak yang ikut bermain di batu bara," tegas pria yang mengaku tidak mau menerima uang upeti dari batu bara ini.
Selain persoalan tersebut, perwira polisi ini juga menyebutkan kendala teknis lainnya saat mereka melakukan pemberantasan peti. Kendala terbesar adalah tingginya biaya yang diperlukan untuk membawa barang bukti sebagai barang bukti sitaan. Diperlukan dana sebesar Rp5 juta untuk menyewa 1 trailer untuk mengangkut barang bukti berupa alat berat. Padahal, sudah pasti lebih dari 3 alat berat yang ada di setiap kasus, kasusnya pun sangat banyak.
Mengenai penegakan hukum kasus peti, Kejaksaan Tinggi (Kejati) selalu minta barang bukti dihadirkan. "Ini kan kesulitan tersendiri secara teknis di lapangan," tutur salah seorang anggota tim pemberantasan peti provinsi ini.
Menurut dia, persidangan kasus peti, hampir selalu terdakwa kasus peti bebas. Hal ini juga dibenarkan oleh seorang pengacara beken di Banjarmasin, H Omar. Ia mengatakan bahwa Kejati selalu meminta barang bukti dihadirkan di kejaksaan. "Ini kan sebuah dalih saja yang digunakan untuk membebaskan terdakwa atau tidak meneruskan kasusnya," keluhnya.
Persoalan kedua, adalah lemahnya kontrol masyarakat. Bagaimanapun masyarakat sekitar justru lebih menyukai adanya kegiatan peti. Karena, kegiatan itu bisa menggerakkan denyut nadi perekonomian masyarakat, misalnya dengan membuka lapangan usaha sebagai penambang, desa menjadi lebih hidup, ada warung-warung yang menjual makanan, ada yang menyewakan truk, kos-kosan, dan sebagainya. Sehingga, masyarakat merasa lebih makmur. Akhirnya mereka kurang peduli lagi dengan soal legal atau tidak legal, yang penting periuk mereka tetap terjaga.
Persoalan ketiga, dan yang sering membuat pontang-panting adalah campur tangan pihak-pihak tertentu. "Kita sudah menangkap aktivitas kelompok tertentu, tapi tiba-tiba kami ditelepon untuk tidak menindak pelaku tersebut yang sudah jelas-jelas bersalah dengan alasan mereka sudah punya izin," ujar perwira polisi dari Polda Kalsel.

sumber: