Menjembatani Pemahaman Praktek Pertambangan: Tahapan dan resiko penambangan (5)
Daya Saing kegeologian Indonesia Tinggi
Dari survey mngenai daya saing negara dalam World Competitiveness Scoreboard 2008, Indonesia menempati posisi ke 51 dari 54 negara, yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan daya saing nasional Indonesia masih dianggap cukup rendah. Namun dari survey oleh Fraser Institute tahun 2007/2008 yang melihat daya saing negara-negara dari sisi kegeologian dan potensi mineral Indonesia menempati posisi ke-6 dari 68 negara. Hal ini menunjukan bahwa potensi kegeologian Indonesia masih cukup menarik bagi investor asing. Ini adalah sebuah modal dasar yang perlu dikelola dengan baik di masa yang akan datang.
Sekalipun demikian yang perlu dipahami adalah bahwa pengelolaan dan pengusahaan untuk pertambangan dari potensi geologi tersebut sampai bernilai ekonomi membutuhkan investasi dan resiko investasi yang sangat tinggi, dimana sering kali modal yang dibutuhkan sangat besar. Resiko kegagalan tersebut terjadi selama tahapan pengusahaan mulai dari survey pendahuluan sampai studi kelayakan. Beberapa waktu yang lalu IMA (Indonesian Mining Association) pernah melansir bahwa resiko investasi di Indonesia untuk pertambangan adalah 5% menunjukkan tingginya resiko tersebut. Sekalipun demikian umumnya disepakati bahwa resiko di pertambangan mineral lebih tinggi daripada di batubara.
Tahapan tambang
Pada dasarnya pertambangan merupakan rangkaian empat kegiatan utama: survei pendahuluan, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian dan reklamasi. Survei pendahuluan dilakukan sebelumkegiatan dilaksanakan untuk memastikan bahwa secara garis besar daerah yang akan dikerjakan mengandung potensi yang menjanjikan. Eksplorasi adalah penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, jumlah dan nilai bahan tambang yang akan dikerjakan. Ini merupakan tahap awal, membutuhkan waktu dua hingga lima tahun dan beresiko tinggi di mana perusahaan dapat menghentikan kegiatan karena tidak menemukan endapan bahan tambang dengan kualitas dan kuantitas yang diharapkan meski telah menghabiskan jutaan dollar. Biaya yang dikeluarkan tahap ini bisa mencapai 1-15 juta dollar. Sepanjang periode 1967-2008, lebih dari 235 perusahaan Kontrak Karya (KK) mineral yang melakukan eksplorasi namun hanya 38 yang berlanjut ke tahap eksploitasi, dan saat ini hanya 12 yang masuk tahap produksi, sedangkan sisanya terminasi atau penundaan. Dari 141 perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi I sampai III selama periode 1981-2000, saat ini hanya 38 perusahaan yang masuk dalam tahap produksi, sedangkan sisanya masih tahap eksplorasi, terminasi atau penundaan.
Dalam prakteknya, tidak berarti seluruh lahan tambang tersebut dimanfaatkan perusahaan, sebagian besar lahan harus dikembalikan kepada negara melalui proses relinquishment bertahap sesuai kemajuan yang dicapai, khususnya selama kegiatan eksplorasi. Setelah diyakini bahan tambang mempunyai kualitas dan kuantitas yang diharapkan, kegiatan berlanjut ke tahap eksploitasi, kegiatan dengan maksud menggali bahan tambang untuk diproses lebih lanjut atau langsung dimanfaatkan.
Dua metode diterapkan untuk eksploitasi, tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Namun sebelum melakukan ekspoitasi, studi kelayakan detail dan konstruksi harus dilaksanakan. Waktu yang dibutuhkan dari eksplorasi ke eksploitasi berkisar tiga hingga lima tahun dan membutuhan biaya 10-500 juta dollar. Dari aspek bukaan lahan hanya sekitar 25% dari total luasan lahan di awal eksplorasi yang akan dikelola perusahaan. Namun inipun tidak seluruhnya akan dibuka. Dapat dicatat bahwa kegiatan eksploitasi pertambangan berijin di Indonesia hanya membuka lahan seluas sekitar 135 ribu ha atau 0,1% luas seluruh wilayah hutan Indonesia. Inilah barangkali satu fakta yang perlu diluruskan, karena saat ini banyak pihak mengatakan seolah-olah pertambangan mengeksploitasi sebagian besar wilayah Indonesia, bahkan konon sampai mencapai lebih dari 50% wilayah Indonesia. Ini adalah hal yang kurang masuk akal. Catatan lain selama proses studi kelayakan juga dilakukan kegiatan AMDAL, atau Analisa Mengenai Dampak Lingkungan, yang akan menilai dampak negatif dan positif dari kegiatan tambang yang akan dilakukan khususnya ditinjau dari sisi pelestarian lingkungan hidup. AMDAL membutuhkan persetujuan dari banyak pihak dan menjadi komitmen perusahaan untuk dijalankan selama kegiatan eksploitasi dilaksanakan, bahkan sampai ke proses pasca tambangnya. Saat ini banyak konflik justru terjadi dengan perusahaan yang berizin resmi dan mau menanamkam modal yang cukup besar, sehingga akibat konflik ini menimbulkan banyak ketidakpastian dalam perizinan pengusahaan pertambangan di Indonesia. Selanjutnya ada anggapan bahwa nampaknya kebanyakan LSM memang sasaran tembaknya adalah perusahaan besar dengan modal besar. Untuk kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) tidak disentuh oleh kritikan LSM, padahal dibelakang PETI tidak hanya rakyat kecil tapi banyak juga para cukong dan pemodal lainnya, sedangkan dampak kerugianekonomi dan kerusakan lingkungan akibat PETI juga cukup besar (oleh:Edpraso)
Â
sumber: