Menjembatani pemahaman praktek pertambangan: KP dan PKP2B (1)

Pada akhir-akhir ini sering diberitakan berbagai masalah pertambangan, salah satu yang sering diberitakan adalah tentang kemelut royalti batubara yang ditahan oleh pengusaha batubara dengan alasan mereka bisa merestitusi pajak akibat pemberlakukan PP144/2000 yang menyatakan bahwa batubara bukan objek yang bisa dikenakan pajak. Hal yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa ini bukan royalti tetapi DHPB (Dana hasil produksi batubara) yang diberlakukan hanya pada perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sesuai dengan KepMen 75/1996 tentang Ketentuan Pokok PKP2B, sedangkan royalti sebagaimana dimaksud dalam PP 45 tahun 2003 tentang Tarip atas Jenis Peneriman Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM). Ini merupakan salah satu contoh bahwa dalam banyak hal satu permasalahan sering dilihat dari berbagai sisi perbedaan yang dari sisi pemahaman belum tentu benar, dan pada gilirannya menimbulkan berbagai kesalahan persepsi dan menjadi tidak pas dengan konteksnya. Di dalam serial tulisan berikut akan disampaikan berbagai hal terkait dengan seluk-beluk praktek kebijakan pertambangan.

Tumpuan Pengusahaan

KIta akan mulai dengan membahas tentang pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara yang dalam prakteknya amat dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal antara lain stabilitas ekonomi, politik dan jaminan keamanan, kepastian hukum dan penghormatan atas kontrak/perjanjian dengan pihak ketiga, dan tuntutan lingkungan. Sedangkan faktor internal antara lain sifat sumberdaya mineral dan batubara yang tidak dapat diperbaharui, lokasi sumberdaya mineral dan batubara yang umumnya berada pada daerah remote, akses investor terhadap lahan (tumpang tindih dengan area hutan, tanah ulayat, dan tata guna lahan lainnya), padat modal dan resiko investasi yang tinggi, fluktuasi harga logam yang sangat tinggi, dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan keuntungan.

Sampai saat ini karena belum ada  UU pertambangan yang baru, maka bentuk pengusahaan mineral dan batubara masih tetap berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yaitu Kuasa Pertambangan dan Perjanjian/Kontrak Karya antara Pemerintah dengan Kontraktor. Untuk batubara ada dua jenis yaitu Kuasa Pertambangan (KP) batubara dan PKP2B, demikian juga pertambangan mineral KP dan Kontrak karya (KK).Kuasa Pertambangan (KP) adalah wewenang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. KP untuk bahan galian strategis (b.g. Gol. A) dan bahan galian vital (b.g. Gol. B) diberikan dalam bentuk surat Keputusan Penugasan Pertambangan; Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat; dan Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan. Sedangkan usaha pertambangan untuk bahan galian Gol. C (tidak termasuk b.g. Gol. A dan Gol. B) diberikan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD). KP hanya dapat diberikan kepada Badan Usaha Nasional dan Perseorangan warga negara Indonesia.

Perjanjian karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) adalah Perjanjian Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan Kontraktor Swasta untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan bahan galian batubara. Sedangkan Kontrak Karya (KK) adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara. Bentuk investasi PKP2B dapat dalam rangka PMDN maupun PMA, sedangkan KK hanya dalam rangka PMA.

Perbedaan antara KP dengan PKP2B/KK dalam hal jangka waktu perizinanannya adalah KP diberikan secara bertahap untuk masing-masing KP (KP Penyelidikan Umum, KP Eksplorasi, KP Eksploitasi, KP Pengolahan dan Pemurnian, dan KP Pengangkutan dan Penjualan), sedangkan untuk KK maupun PKP2B jangka waktu untuk masing-masing tahapan kegiatan tersebut menjadi satu dalam kontrak yang bersangkutan secara terintegrasi.

Dari aspek hukum, KP bersifat “publik” sedangkan PKP2B/KK bersifat perdata””dan merupakan kesepakatan bersama antara para pihak (Pemerintah RI dengan Kontraktor) dalam kerja sama tersebut. Azas “penghormatan”terhadap kontrak meliputi keseluruhan terms and conditions yang tercantum dalam kontrak termasuk para pihak yang terkait dalam kontrak. Perubahan terhadap terms and conditions kontrak hanya dimungkinkan apabila didasarkan atas kesepakatan para pihak yang kemudian dituangkan secara resmi dalam bentuk ämandemen kontrak”.

Dalam kaitan investasi asing dalam hubungannya dengan Kontrak Karya atau PKP2B, Indonesia telah terikat pada Konvensi Bank Dunia tahun 1966 “Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals from other States”yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1968. dengan demikian pengingkaran terhadap suatu perizinan dan/atau kontrak kerja sama dengan pihak ketiga yang berkaitan dengan investasi asing akan berakibat Pemerintah dapat digugat ke Lembaga Arbitrase Internasional. Dalam hukum Perjanjian Internasional terdapat adagium hukum yang berbunyi “Pacta Sunt Servanda”yang juga dianut oleh hokum positif kita sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang mengandung pengertian suatu penghormatan terhadap kontrak/perjanjian (The Sanctity of the Contract).

Pada saat diberlakukannya Keppres No. 75 tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, maka seluruh Perjanjian Karya/Kontrak kerja sama batubara generasi I dan II dilakukan amandemen kontrak dengan persetujuan para pihak atas pengalihan seluruh hak dan kewajiban PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) kepada Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Pertambangan dan Energi.

Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom terhitung tanggal 1 Januari 2001, kewenangan pengelolaaan usaha sumberdaya mineral dan batubara yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota berada pada Pemerintah Kabupaten; sumberdaya mineral dan batubara yang berada dalam lintas Kabupaten menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan yang berada pada lintas Provinsi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Pada wilayah laut pengelolaaan usaha mineral dan batubara 0 – 4 mil menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, di atas 4 – 12 mil kewenangan Pemerintah Provinsi, dan di atas 12 mil menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Kewenangan Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan usaha sumberdaya mineral tidak termasuk untuk bahan galian radio aktif, minyak bumi dan gas bumi, serta panas bumi.

Selanjutnya dalam PP 75/2001 tentang Pelaksanaan UU 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Bab XI A “Ketentuan Peralihan”  yaitu pada pasal 67 a. menyatakan  bahwa "Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan  oleh Pemerintah sebelum tanggal 1 Januari 2001 tetap berlaku sampai berakhirnya KP, KK dan PKP2B dimaksud. Penyelenggaraan kewenangan pengelolaan KP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur/Walikota sesuai kewenangannya. Penyelenggaraan kewenangan pengelolaan KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan berkoordinasi dengan Gubernur dan Bupati/walikota sesuai kewenangannya."

Semenjak pemberlakukan  otonomi daerah, sejumlah daerah banyak mengeluarkan perizinan  KP baru yang bila dijumlahkan sudah mencapai ribuan. maka ke-depan hal ini perlu lebih diawasai dan ditangani secara baik, karena justru akan dapat menimbulkan permasalahan baru, termasuk tumpang tindih lahan, lingkungan, dll. (Edpraso)

 

sumber: