Menggali Petaka di Hutan Lindung
Menggali Petaka di Hutan Lindung ENTAH apa yang terbayang dalam benak Presiden Megawati Soekarnoputri pada 11 Maret 2004 saat menggoreskan tanda tangan di bagian akhir naskah Perpu Nomor 1 Tahun 2004. Entah apa pula yang diharapkan para anggota DPR yang terhormat itu ketika akhirnya, empat bulan kemudian, secara paripurna enggan menolak pemberlakuan perpu yang menjadi pegangan 13 perusahaan pertambangan untuk beroperasi di hutan lindung. HAMPIR 40 tahun industri pertambangan menjadi primadona bagi devisa negara dan diklaim sebagai salah satu sektor yang paling berjasa mengundang investasi dan membuka lapangan kerja. Namun, menurut Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Longgena Ginting, sektor pertambangan hanyalah menjalankan politik obral mineral dan membawa mudarat bagi alam dan rakyat Indonesia. Lebih dari itu, Ginting menyebut telah terjadi penjarahan mineral secara besar-besaran dengan pemberian berbagai perlakuan istimewa-secara ekonomi, politik, dan hukum-kepada perusahaan tambang atas nama pendapatan negara. \"Divestasi alam dan sosial akibat operasi destruktif itu kenyataannya tidak sebanding dengan pendapatan negara yang diperoleh dari sektor ini,\" katanya. \"Sumbangan sektor pertambangan-tidak termasuk gas dan minyak-tidak melebihi empat persen dari total produksi pendapatan kotor negara.\" Satu hal yang jelas, peluang yang diberikan kepada perusahaan pertambangan untuk menggali hutan lindung sekaligus berarti peluang bagi terjadinya kerusakan bentang alam, pencemaran lingkungan, dan konflik sosial. Berbagai bukti telah meriwayatkan sederet dampak negatif industri pertambangan yang hampir 40 tahun menggali perut bumi Nusantara. Daya rusak industri pertambangan terhadap lingkungan dan manusia bukan hanya terjadi saat perusahaan baru memulai proses eksplorasi, tetapi akan terus berlangsung selama konstruksi dan eksploitasi. Bahkan, setelah penutupan tambang dan perusahaan angkat kaki, dampak buruk yang ditinggalkan masih terus terjadi. Kerusakan dan pencemaran lingkungan kemudian melahirkan masalah sosial seperti kemiskinan, gangguan kesehatan, dan konflik sosial. Ancaman tailing Dalam lembar informasi yang diterbitkan Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan menjadi Pertambangan, terungkap salah satu hasil kajian yang menemukan bahwa pertambangan tidak pernah memiliki konsep konservasi bahan mineral. Itu mengakibatkan daya dukung lingkungan semakin rendah. Pada banyak lokasi pertambangan, menurunnya daya dukung lingkungan terlihat dengan semakin meningkatnya pencemaran logam berat, matinya biota laut, hingga konflik sosial. Alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi areal pertambangan, yang dilegalisasi oleh Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan Keppres Nomor 41 Tahun 2004, akan menekan peranan hutan sebagai penyeimbang hidrologis, ekologis, dan keragaman hayati. Fungsi hutan sebagai pendukung perekonomian masyarakat pun akan hilang menyusul penguasaan kawasan itu oleh pihak swasta. Hilangnya fungsi daerah resapan air akan terjadi seiring dengan hilangnya hutan yang menjadi lapisan penutup tanah. Fungsi hutan sebagai tempat hidup keragaman hayati dan penyeimbang iklim juga akan terganggu. Lebih jauh diungkapkan dalam lembaran informasi itu, hingga saat ini tidak satu kajian pun yang menyebutkan suatu perusahaan pertambangan bertanggung jawab dan mampu merehabilitasi lingkungan rusak yang ditimbulkan. Perusahaan mereklamasi biasanya asal-asalan, sekadar memenuhi syarat formal kontrak karya. Menurut Ginting, kontrol pada proses penutupan tambang atau pascatambang sangat lemah karena tidak ketat diatur dalam kontrak karya perusahaan. Kontrak karya hanya mewajibkan perusahaan mereklamasi, yang diterapkan dalam bentuk penghijauan dan penanaman pohon belaka. \"Jadi hampir tidak ada tanggung jawab perusahaan setelah penutupan tambang. Mereka hanya mereklamasi seadanya dan menganggap masalah sudah selesai, lalu pergi meninggalkan lubang-lubang raksasa yang menganga dan beracun,\" kata Ginting. Kelakuan perusahaan tambang seperti itu tentu sangat berbahaya. Soalnya, dampak negatifnya puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Beberapa potensi bahaya jangka panjang yang ditinggalkan perusahaan, selain lubang tambang, ada lagi air asam tambang dan limbah tailing. Lubang-lubang tambang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air yang tertampung dalam lubang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah, yang kemudian mencemari air tanah sekitarnya. Kalaupun tidak merembes, air yang tercemar itu akan meracuni makhluk hidup lain, seperti burung-burung yang berimigrasi atau hewan lain yang hidup di sekitar lokasi bekas operasi pertambangan. Potensi bahaya akibat rembesan racun ke dalam air tanah sering kali terabaikan akibat lemahnya sistem pengawasan perusahaan pertambangan. Pada umumnya perusahaan pertambangan akan tetap membiarkan lubang tambang tersebut terbuka selamanya, seperti yang banyak dijumpai di bekas tambang timah berisi air yang bersifat asam di Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Air asam tambang yang mengandung logam berat juga berpotensi dampak lingkungan jangka panjang. Sekali air asam tambang sudah terbentuk, akan sangat sulit dihentikan karena sifat alami reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, sebuah pertambangan timbal yang beroperasi pada zaman Kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang sampai 2.000 tahun setelah penutupan tambang. Terkadang air asam tambang baru terbentuk bertahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak memantau jangka panjang bisa menyangka batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Bahan cair berbahaya itu berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Gawatnya, sekali terjadi pencemaran pada badan-badan air, hal itu akan sulit ditangani. Sementara itu, sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pertambangan akan menjadi limbah tailing, yang umumnya bersifat asam (pH rendah). Kadar keasamannya yang tinggi mempercepat reaksi pelepasan logam-logam berat-tembaga, timbal/timah hitam, merkuri, arsen, seng, dan sebagainya-yang terkandung dalam batuan. Logam berat bersifat persisten atau menetap di alam dan tidak dapat terurai secara biologis, sehingga ketika masuk ke dalam tubuh makhluk hidup akan terakumulasi dalam jaringan tubuh dan akhirnya menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Selain itu, tailing juga mengandung berbagai bahan kimia yang digunakan dalam proses pemisahan bijih, seperti sianida. Bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3) yang terkandung dalam tailing lalu ditimbun dalam bendungan atau dibuang ke sungai atau laut, sebagian besar akan menetap di alam dan mencemari badan-badan air secara fisik dan kimiawi. Jika bahan itu terkonsumsi oleh makhluk hidup dan masuk ke dalam rantai makanan, bahaya mulai mengintai. Perusahaan pertambangan yang membuang tailing ke laut berkilah bahwa pembuangan limbah tailing dasar laut adalah cara yang aman sebab limbah lumpur itu akan stabil di kedalaman laut. Padahal, teknologi itu tidak tepat digunakan di daerah beriklim tropis seperti di Indonesia, yang suhu permukaan dan suhu kedalaman lautnya berbeda. Perbedaan suhu yang tinggi itu mengakibatkan terjadinya perputaran arus laut, yang membuat limbah lumpur tailing tidak stabil lalu mencemari air laut. Tanpa visi lingkungan Kebijakan pemerintah yang didukung para wakil rakyat untuk mengizinkan 13 perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung mendapat sorotan tajam dari kalangan organisasi bukan pemerintah. Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maimunah menilai kebijakan itu telah menunjukkan kegagalan pemerintahan Megawati Soekarnoputri merebut kedaulatan pengelolaan sumber tambang dari tangan asing. Izin pembukaan hutan lindung untuk pertambangan atas nama \"keamanan investasi asing\" membuktikan pemerintah saat ini masih mengikuti model pemerintahan Orde Baru mengeksploitasi kekayaan mineral Indonesia. Kebijakan meneruskan kegiatan penambangan secara terbuka di hutan lindung, dalam pandangan Ginting, juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki visi pengelolaan lingkungan hidup, sekaligus mempertegas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia hanya sekadar jargon. Banyak negara yang mengalami krisis ekonomi seperti Indonesia, tetapi mereka menjadikannya momentum untuk bangkit. Berbeda dengan Indonesia yang pemerintahannya tidak punya visi tentang lingkungan hidup. Kalau punya kepedulian terhadap masalah lingkungan hidup dengan dampak yang sangat luas, kata Ginting, seharusnya pemerintah meninjau ulang seluruh kontrak karya pertambangan, bukan justru memberi keleluasaan menambang di hutan lindung. \"Kontrak karya yang berjalan sekarang ini dibuat pada zaman Orde Baru. Tidak relevan lagi dengan masa sekarang, ketika masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan politik semakin kompleks. Terutama lagi, kontrak karya itu dibuat dalam pemerintahan yang tertutup dan sarat kolusi-korupsi-nepotisme sehingga tidak menguntungkan negara, melainkan kroni-kroni rezim Orde Baru,\" kata Ginting. Jika para pengambil kebijakan masih berpikir bagaimana mengeksploitasi kekayaan alam untuk meraup keuntungan seketika, kelak mereka akan dikenang sebagai penabur benih bencana dan kemiskinan.(Nasru Alam Aziz)
sumber: