Menertibkan captive power, merangkul swasta
Menertibkan captive power, merangkul swasta
ÂÂ
Sesuai dengan program yang dicanangkan Pemprov Banten melalui Dinas Pertambangan dan Energi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan listrik sampai merata ke wilayah permukiman terpencil, Kadistamben Deddy M. Barmawidjaja akan mengawasi ketat pengoperasian pembangkit listrik yang dikelola swasta (captive power).
Langkah itu dilaksanakan karena captive power dinilai mengganggu sistem transmisi energi listrik primer milik pemerintah ke pelanggan.
Langkah lain yang akan ditempuh adalah mewajibkan pemilik genset di bawah 1 MW mendapatkan surat izin pengoperasian dari Distamben provinsi sebagai pos baru pemasukan asli daerah (PAD), yang selama ini izinnya masih dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Deddy mengungkapkan sejumlah perusahaan memang telah mengantongi izin pengoperasian genset dari Pemprov Jawa Barat dan dari pemerintah kabupaten/kota di Banten, namun instansi pemberi izinnya bukan Distamben, melainkan Disnaker dengan surat izin terbaru pada 2001.
"Banyak genset yang sudah tidak laik operasi, dan kami akan mulai ketat kepada mereka untuk segera mengurus izin operasi genset di bawah 1 MW kepada kami kalau tidak ingin dilarang berioperasi," tegasnya.
Pengaruhnya terhadap PAD, dia mengestimasi angka pajak triliun rupiah dari izin genset apabila target kerja ini tercapai.
Deddy pun akan melakukan kerja sama dengan pemilik captive power agar ikut menjadi pemasok listrik untuk komoditas rumah tangga. Sebab, bila melihat rasio elektrifikasi, kebutuhan tenaga listrik kelompok rumah tangga untuk 10 tahun ke depan masih jauh dari cukup. Sementara ini, kerja sama PLN yang telah terjalin dengan baik baru dengan PT Krakatau Daya Listrik (KDL).
Distamben, ucap Deddy, sebenarnya ingin secepatnya semua desa di Banten dapat terlistriki melalui Prolisdes. Namun, becermin pada dua tahapan Prolisdes dua tahun sebelumnya yang menuai masalah akibat ulah oknum, Deddy berpikir dua kali ketika DPRD menawarkan anggaran APBD 2005 sebesar Rp50 miliar untuk menerangi 11.000 KK di Banten selatan.
"Kami hanya berani mengelola setengahnya. Kami mencoba meminimalisasi risiko sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawab kami. Melihat kondisi geografis dan naiknya material, saya khawatir timbul masalah lagi akhirnya. Masalah prolisdes yang kemarin saja membuat saya dan keluarga saya tertekan," katanya.
Dia juga berharap pemerintah segera mengeluarkan undang-undang baru tentang kelistrikan agar ada kejelasan terhadap daerah dalam pengembangan ketenagalistrikan. Pasalnya, UU No. 20/2002 yang menggantikan UU No. 15/1985 dinyatakan tak punya kekuatan hukum mengikat melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tertanggal 15 Desember 2004.
Dengan putusan itu, menurut Deddy, daerah menjadi bingung karena MK memerintahkan UU No. 15/1985 berlaku kembali untuk mengisi kekosongan hukum. Artinya, dengan dipakainya UU No. 15/1985 itu, daerah tak lagi berkewenang mengelola ketenagalistrikan di daerah seperti halnya yang diamanatkan UU No. 20/2002.
sumber: