Mencermati anomali harga batu bara saat ini
![]() |
![]() |
![]() | ||
![]() |
Bisnis Indonesia |
Dunia perbatubaraan gempar pada Kamis, 4 Maret lalu. Pasalnya, pada hari itu harga batu bara di berbagai bursa spot dunia-khususnya di Australia-menembus US$47 per ton. Harga sebesar itu tergolong fantastis. Sebab rekor harga batu bara tertinggi dalam tujuh tahun terakhir baru terjadi pada 12 Februari 2004 (US$43,35 per ton). Kenaikan harga batu bara yang drastis tadi, perlu dicermati secara seksama oleh pelaku usaha sektor ini, baik BUMN, kontraktor swasta, pemegang kuasa pertambangan, maupun koperasi di Tanah Air. Kenaikan harga batu bara yang menghebohkan itu bisa dibilang tidak normal dan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sulitnya mendapatkan kapal untuk mengangkut batu bara ke negara tujuan ekspor. Meski Perang AS-Irak telah berakhir dengan jatuhnya pemerintahan dan tertangkapnya Presiden Saddam Hussein, tapi dampak perang tersebut masih menyisakan keruwetan pada transportasi untuk ekspor, khususnya moda kapal laut. Para pengusaha di Asia Tenggara saat ini kesulitan mencari kapal untuk mengirim komoditas ekspor-termasuk batu bara-ke Jepang, Amerika Serikat, dan kawasan Uni Eropa akibat perubahan rute saat berlangsungnya Perang Teluk II. Kelangkaan kapal diperparah dengan terkonsentrasinya angkutan laut ke Cina. Negara berpenduduk terbesar di dunia ini, sejak tahun lalu meningkatnya impor bijih besi (iron ore) sekitar 25% guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8,2% per tahun. Akibatnya, berbagai kapal angkutan ekspor tersita perhatiannya ke negara itu. Tahun lalu saja, realisasi impor bijih besi negara Tirai Bambu dari penjuru dunia mencapai 140 juta ton. Kondisi tersebut, membuat kapal angkutan ekspor yang masih tersisa menaikkan biaya angkut (freight cost) sangat tinggi. Tapi karena mendesaknya pengangkutan batu bara, maka kenaikan biaya transportasi dianggap oleh ekspotir tidak masalah. Mereka mengonversi kenaikan ongkos angkutan tadi ke dalam harga batu bara. Berbagai kapal angkutan batu bara akhirnya sampai pekan lalu habis terpesan. Cina main api Faktor kedua yang mendorong lonjakan harga batu bara adalah terjadinya pembatalan sejumlah memorandum of understanding (MoU) kontrak batu bara internasional. Cina nampaknya tengah bermain api dengan batu bara. Di tengah upaya mendikte angkutan ekspor untuk bermuara ke negara itu, MoU kontrak ekspor batu bara skala besar dengan Korsel dibatalkan. Padahal, Korsel termasuk salah satu negara pembeli batu bara terbesar di Asia. Dampak pembatalan MoU tersebut, Korsel, Filipina dan beberapa negara Asean lainnya terpakasa mencari batu bara di luar Cina. Konon, pembatalan kontrak ekspor batu bara oleh Cina dilakukan karena negara itu tengah memproses pengurangan ekspor batu bara. Di samping-tentunya-mengonsentrasikan penggunaan kapal untuk impor bijih besi. Pembatalan MoU kontrak batu bara internasional secara mendadak tadi, membuat negara-negara pengguna bahan bakar itu untuk keperluan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pabrik semen menjadi kalang kabut. Mereka mencari batu bara ke negara produsen lainnya. Indonesia dan Australia menjadi incaran utama mereka. Akibatnya, menurut pemantauan Masyarakat Batubara Indonesia (MBI), pasokan batu bara nasional untuk keperluan ekspor semester I tahun ini sudah habis pesan. Meskipun Indonesia masih memiliki potensi batu bara yang relatif besar, tapi produsen komoditas ini sebaiknya tidak terpancing memanfaatkan tingginya harga batu bara untuk menggandakan penjualan spot secara tidak rasional. Sebab kenaikan harga batu bara yang tergolong ekstrim saat ini, masih mungkin berubah-ubah. Seandainya kontrak ekspor batu bara dilakukan secara tidak rasional, produsen bisa kesulitan memenuhi komitmen dengan pembeli bila timbul kendala di kemudian hari. Kendala tersebut bisa saja seperti sulitnya mencari kapal dan jenis batu bara yang ditambang tidak sesuai permintaan pembeli. Diversifikasi terhambat Buat produsen batu bara nasional, kenaikan biaya angkutan laut juga menghambat diversifikasi pasar ke kawasan Eropa. Sebab selain angkutan mahal, posisi geografis dari lokasi pelabuhan di Indonesia yang terpencar menjadi kendala untuk memperbesar volume ekspor. Jadi berat bagi Indonesia untuk bersaing langsung di pasar Eropa, khususnya dengan negara produsen lain yang lebih dekat jaraknya seperti Kolombia, Afrika Selatan, dan Rusia. Selain angkutan, faktor lain yang membuat Indonesia sulit bersaing di pasar Eropa adalah kategori produk. Pasar Eropa umumnya membutuhkan batu bara yang mempunyai nilai kalori tinggi. Sedangkan batu bara dari Indonesia umumnya berkalori rendah dan sedang.Data Barlow Jonker menyebutkan impor batu bara Uni Eropa tahun lalu mencapai 133 juta ton atau teringgi di dunia. Negara pengimpor terbesar berikutnya ditempati oleh Jepang (100 juta ton), Korsel (50 juta ton) dan Taiwan (45 juta ton). Dengan berbagai kendala tadi, nampaknya pasar Asia Tenggara dan Asia Timur-yang selama ini menjadi pasar tradisional bagi Indonesia-tetap menjadi pilihan untuk penjualan batu bara nasional. Sayang memang Indonesia tidak bisa mengisi pasar Eropa. Padahal dengan tingkat kebutuhan yang besar, kawasan tersebut saat ini menjadi ajang persaingan penjualan batu bara di dunia. Oleh Ismail Fahmi |
![]() |
|