Mencari Solusi Izin Pinjam Pakai Hutan

Tumpang tindih wilayah antara sektor pertambangan (KK/PKP2B/KP) dengan sektor lain, khususnya kehutanan, tidak dapat dihindarkan. Hal ini terkait dengan keberadaan potensi mineral dan batubara (bahan tambang) yang berada di bawah permukaan tanah, sedangkan diatasnya digunakan oleh sektor lain (kehutanan, perkebunan, dll). 

Tarik-menarik antara pertambangan dan sektor lain di atas permukaan, khususnya kehutanan, telah berlangsung lama. Bahkan telah terjadi sejak terbitnya Undang-Undang (UU) 41 tentang Kehutanan, dimana ketika UU tersebut terbit, sejumlah perusahaan KK atau PKP2B yang sudah menandatangani kontrak/perjanjian dengan Pemerintah menjadi terkendala, akibat penetapan sebagian wilayah kontrak pertambangan tersebut sebagai wilayah hutan lindung, sementara dalam Pasal 38 ayat 4 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa “Di dalam kawasan hutan lindung dilarang melakukan pola pertambangan terbuka”.

Solusi hal tersebut adalah dengan terbitnya Keppres 41 tahun 2004 tentang penetapan 13 perusahaan KK dan PKP2B yang boleh melanjutkan kegiatannya karena sudah menandatangani kontrak sebelum UU 41/1999 diterbitkan. Selanjutnya hal ini juga diperkuat dengan terbitnya UU No. 19 Thn 2004 tentang Penetapan Perpu No. 1 Thn 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Thn 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang.

Seharusnya dengan terbitnya UU 19/2004 tersebut telah dapat menjadi sebuah kepastian hukum di dalam pelaksanaannya. Di dalam prosesnya terdapat persoalan izin pinjam pakai hutan yang harus ditaati oleh pelaku pertambangan tersebut agar dapat menjalankan kegiatannya.

Hal ini juga yang sering menjadi tarik-menarik dan sering menjadi bahan pertanyaan di berbagai forum, sebetulnya apa yang terjadi, mengapa untuk proses demikian ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Bahkan sampai hari ini diberitakan bahwa untuk yang 13 perusahaan tersebut hanya beberapa saja yang sudah mengantongi izin pinjam pakai, artinya sampai saat ini sudah terdapat selang waktu selama 6 tahun sejak terbitnya UU 19/2004 bahwa izin pinjam pakai tersebut belum juga tuntas!

Memang banyak jawaban atas segala kelambatan ini, diantaranya adalah bahwa Kementerian Kehutanan akan memproses izin pinjam pakai suatu tambang apabila sudah ada rekomendasi dari pemerintah daerah setempat. Tanpa adanya rekomendasi dimaksud izin pinjam pakai akan mandeg.

Permasalahan Investasi

Hal lain yang perlu juga menjadi sorotan adalah bahwa kegiatan pertambangan akan membutuhkan investasi yang sangat tinggi dan memiliki resiko tinggi pula untuk gagal dalam tahapan eksplorasi, karena tidak menemukan cadangan yang memadai secara ekonomis.

Sejumlah perusahaan asing yang sudah menanamkan investasinya untuk memulai kegiatan dan merencanakan tahapan kegiatannya, bisa terhenti akibat permasalahan non-teknis di atas, sementara kebanyakan dari perusahaan tersebut adalah perusahaan yang sudah menandatangani kontrak/perjanjian, yang artinya telah memiliki komitmen untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan aturan yang ada. Permasalahan terhentinya atau terhambatnya investasi adalah promosi buruk bagi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Seharusnya dapat dicari solusi yang win-win antara berbagai kepentingan tanpa mengorbankan kepentingan jangka panjang.

Permasalahan lainnya, ternyata ada sekitar 30% wilayah panas bumi yang berada pada kawasan konservasi, khususnya sebagian besar potensi panas bumi yang masuk program 10.000 MW berada pada kawasan hutan konservasi, sehingga tidak bisa melanjutkan kegiatannya.

Amandemen pasal 38 UU 41/1999

Kementerian ESDM dalam pertemuan dengan Komisi VII DPR-RI mengusulkan amandemen pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan untuk memberikan ruang bagi pengembangan panas bumi di hutan konservasi, mengingat panas bumi merupakan sumber energi yang ramah lingkungan.

Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 ayat 1 disebutkan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan hutan lindung. Sementara itu di sisi lain, potensi panas bumi banyak ditemukan di dalam kawasan hutan konservasi yang tidak disebutkan dalam UU tersebut.

Oleh karena itu, amandemen pasal tersebut perlu dilakukan dengan menambahkan pengecualian bagi pengembangan energi yang ramah lingkungan (panas bumi), sehingga pengusahaan panas bumi dapat dilakukan di hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi.

edpraso

sumber: