Mencari jalan tengah UU Minerba

Mencari jalan tengah UU Minerba
Bagian pertama dari dua tulisan

 

Bisnis, 18 Januari 2006

 

Tahun kini sudah berganti. Terhitung lebih dari setengah tahun lalu Rancangan Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan Batu bara (Minerba) telah diajukan oleh pemerintah, janji tiga bulan selesai dari Panitia Khusus (Pansus) DPR yang membahas hal itu terbukti tidak terpenuhi.

Betapa tidak, pembahasan yang ditargetkan dalam jangka waktu tiga bulan akhirnya molor hingga tahun baru 2006 akibat tarik menarik yang alot antara pengusaha pertambangan dengan para aktivis lingkungan hidup.

Biasanya dalam setiap pembahasan RUU jika ada satu pihak menyatakan setuju pada rancangan yang diajukan maka pihak lain akan tidak setuju.

Anehnya dalam pembahasan RUU Minerba, baik kalangan pengusaha pertambangan maupun aktivis lingkungan hidup sama-sama menolak sejumlah pasal dalam RUU tersebut.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kelompok Kerja PA-PSDA, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Hukum Masyarakat adat (Huma), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Indonesian Centre of Environmental Law (ICEL) dan Yayasan Kenakeragaman Hayati Indonesia (Kehati) dengan tegas mendesak pembahasan RUU Minerba ditunda hingga tuntasnya pembahasan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA) sebagai langkah mendasar pengelolaan Sumber Daya alam yang terintegrasi.

Beberapa hal yang menjadi keberatan kalangan ini adalah RUU Minerba mengabaikan karak-teristik tambang sebagai hal yang tidak terbarukan dan pu-nya risiko daya rusak.

RUU ini dinilai salah menafsirkan Hak Menguasai Negara (HMN) sehingga tidak mampu menjawab masalah-masalah yang timbul dalam implementasi HMN akibat penerapan UU No. 11/1967.

RUU Minerba menerjemahkan HMN menjadi \'hak milik\' sepenuhnya. Pasal 2 ayat (1) dan (2) beserta penjelasannya ternyata masih sama paradigmanya dengan UU No. 11/ 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, bahkan cenderung manipulatif.

Kalangan ini menegaskan RUU Minerba tidak secara tegas mengatur batasan penguasaan dan kepemilikan tanah yang mengandung sumber daya mineral secara khusus.

Hal itu akan berimbas terhadap makin tingginya potensi masalah yang akan timbul dalam implementasi HMN oleh pemerintah. Sengketa rakyat dipastikan meningkat dan investasi tambang akan terganggu jika konsep HMN tidak diubah.

Lebih dari itu, RUU Minerba malah diperkirakan akan meningkatkan Pelanggaran HAM dan Kriminalisasi Rakyat. Sebab Pasal 7, Pasal 54-56, dan Pasal 70 RUU Minerba dengan jelas mengabaikan hak menentukan nasib sendiri yang secara universal telah diakui keberadaannya melalui Konvensi ILO 169 maupun prinsip persetujuan bebas dan tanpa paksaaan (free and prior informed consent), pengabaian hak mendapatkan informasi yang benar dan hak partisipasi dan hak mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat.

Pasal 54-57 RUU Minerba mengatur mengenai pencabutan hak atas tanah, dimana Pasal 54 ayat (1) menjadi bukti superioritas sektor pertambangan yang dengan terang-terangan menyebutkan bahwa pertambangan boleh dilakukan di manapun di Indonesia, karena pemegang hak atas tanah wajib memberikan tanahnya.

Pasal ini menegaskan daya rusak sektor tambang. Areal pertambangan tak bisa dibatasi oleh peruntukan kawasan lainnya, seperti kawasan konservasi ataupun wilayah kelola masyarakat adat.

RUU Minerba ternyata masih menerapkan prinsip yang sama dengan UU No. 11 tahun 1967 yang memaknai tanah hanya sebagai obyek pertambangan. Pasal 56 makin menegaskan bahwa masyarakat sekitar tidak punya pilihan untuk menolak masuknya pertambangan, pilihannya hanyalah pergi atau menerima ganti rugi.

Jika rakyat menolak, maka Pasal 70 RUU akan mengkriminalisasi rakyat dan potensi terjadinya kekerasaan negara muncul.

Pasal ini bisa disebut \'pasal karet\' karena berpotensi mengkriminalkan setiap orang yang dianggap merintangi kegiatan pertambangan tanpa alasan yang jelas. Daftar sengketa dan pelanggaran HAM sektor tambang akan bertambah.

Dampak perusakan

RUU Minerba mengabaikan fakta bahwa operasi pertambangan memiliki dampak perusakan lingkungan yang luas, dari daerah hulu hingga hilir. Bila diperhatikan, operasi pertambangan kebanyakan berada di daerah atas dan daerah tangkapan air, sehingga bila dia menimbulkan dampak melalui limbahnya, maka dampak dari pencemaran limbah tersebut akan dirasakan juga di daerah hilirnya.

Apalagi tak ada penjelasan mencukupi pada Pasal 16 mengenai dampak regional dan nasional. Potensi lempar tanggung jawab akan mengemuka jika terjadi sengketa lingkungan ke depan.

sumber: