Menatap Sisa-sisa Kejayaan
Menatap Sisa-sisa Kejayaan
Kompas, 3 Desember 2005
"Usia saya terus bertambah. Meski punya pengalaman toh hingga saat ini belum dipanggil juga. Jadilah saya mengojek,� ungkap Ashari.
Dia belum beruban, namun dari wajahnya tampak dia sudah cukup berumur, sekitar 45 tahun. �Anak saya nomor satu akan kuliah tahun ini,� ungkapnya.
Untuk itu ia harus bekerja keras mencari penghasilan dengan mengojekâ€â€pekerjaan yang tidak dibayangkannya dulu. â€?Saya mengajar anak-anak di sekolah PT Timah kala perusahaan itu masih aktif dan melakukan eksploitasi di Dabo-Singkep,â€? akunya. Setelah perusahaan itu hengkang, kandas juga karier Ashari.
�Saat ada pemekaran wilayah dan Lingga menjadi kabupaten tahun 2003, saya mencoba mengajukan lamaran menjadi guru atau pegawai negeri. Tetapi karena harus bersaing dengan yang muda-muda saya kalah,� akunya.
Harapannya tidak surut. Dia mencoba lagi, namun tak juga kunjung dipanggil. �Umur terus bertambah. Akhirnya harus tahu diri juga. Saya tidak lagi berharap menjadi guru negeri,� keluh Ashari sambil terus memacu sepeda motornya menuju kolong-kolong bekas tambang timah di Dabo.
Nasib Ashari adalah nasib sebagian warga Dabo-Singkep. Setelah pesta timah usai pada tahun 1992, semarak
Saat bertanya pada penjaga warung telekomunikasi, tempat bekas galian tambang PT Timah, Ashari cepat menjawab, �Tanya saja kepada para tukang ojek, mereka tahu di mana kolong-kolong bekas tambang itu. Mereka semua bekas pekerja di kolong-kolong itu.�
�Kami dulu adalah pekerja pada bagian eksplorasi, dia bagian sortir, kalau dia ini dulu sopir truk tetapi kadang-kadang ikut ngebor juga. Kalau saya, pernah ikut mengoperasikan bor laut dan bor darat,� ungkap seorang pengojek yang duduk berkelompok dengan rekan-rekannya di perempatan Pasar Dabo.
Mengalirlah cerita bahwa timah ketika itu menjadi sumber utama rezeki mereka. Jalan raya, rumah sakit, gedung-gedung, perumahan mewah milik perusahaan, hingga jaringan listrik dan air bersih, bandar udara, dan juga pelabuhan laut, semua ketika itu dibangun.
�Di jalan ini hilir mudik truk-truk besar, mobil-mobil milik perusahaan. Pesawat terbang sering turun di sini, minimal seminggu tiga kali pulang-pergi ada jadwal pesawat,� ungkap Kam, seorang pengojek.
Itu kisah masa lalu. Saat ini Dabo tak ubahnya
Hanya beberapa pemuda tanggung berkumpul di kedai, menonton teman mereka bermain bola sodok. Beberapa penjual durian kaki
Yang riuh adalah suara elektronik burung walet yang muncul dari berbagai pengeras suara yang dipasang di gedung-gedung tinggi. Suara itu untuk memikat walet agar datang dan bersarang di gedung itu.
Ya, hanya itulah bentuk geliat Dabo saat ini. Kalaupun ada pembangunan gedung baru, itu adalah gedung sarang walet.
Gedung itu dibangun bertingkat hingga setara dengan tiga lantai dan dari luar tampak seperti hotel bercat mencolok. Gedung sarang walet itu milik para pemodal dari Tanjung
Di luar itu, Dabo adalah
�Dulu kantor ini bekas kantor bank, tetapi kemudian tutup bersama dengan perginya PT Timah,� ungkap Ashari.
Di Dabo kini tinggal orang-orang tua. Mereka menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi atau duduk di perempatan jalan, tempat pengojek berkumpul. Yang lain adalah anak-anak sekolah SD, SMP, dan SMA.
�Kalau sudah lulus mereka akan bersekolah di Tanjung
Kondisi itu dibenarkan oleh Camat Dabo Abu Hazim yang mengatakan bahwa ketika Hari Raya tiba, kapal feri dari Tanjung Pinang selalu penuh sesak dengan penumpang.
�Mereka adalah anak-anak yang pulang berlibur dan bersilaturahmi pada keluarga,� katanya.
Mereka yang agak muda dan bermodal menjadi tukang ojek. Yang tidak bermodal akan berendam di laut mengais timah. Selebihnya lagi, mengandalkan hasil perkebunan seperti durian, jeruk, dan karet.
Kolong-kolong timah yang telah berubah menjadi danau-danau besar itu hanya menyisakan kesepian yang larut bersama angin pegunungan. Begitulah Dabo seusai pesta timah. sumber: