Menanti semi di bumi Kelian pascatambang

Bagian pertama dari dua tulisan

Bisnis Indonesia, Jejak pertambangan emas di Kelian telah melibas peradaban sebentuk kehidupan di belahan bumi Kalimantan Timur itu. Setelah mengeruk harta karun, sudah saatnya PT Kelian Equatorial Mining (KEM) menuntaskan tanggung jawabnya.

Ini bukan pilihan, melainkan mutlak untuk mengembalikan kembali rona muka bumi setelah aktivitas pertambangan mengubah bentang alam di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kaltim tersebut termasuk membayar kewajiban moral pada lingkungan sosial.

Tidak gampang. Apalagi, ini akhir dari kerja panjang yang dilakukan sejak 1976 oleh pemodal yang 90% sahamnya didukung perusahaan tambang kelas kakap asal Australia, Rio Tinto.

Eksplorasi yang dilakukannya di sejumlah zona selama enam tahun kemudian berhasil memetakan cadangan geologi sekitar 140,2 juta ton bijih yang mengandung mineral logam mulia. Pemboran di 416 titik saat itu mencapai kedalaman total 58.316 meter.

Dengan penemuan tersebut, KEM berjuang mendapatkan Kontrak Karya (KK) untuk melegalkan pengusahaan kekayaan Indonesia itu. Pada 1982, KK untuk PT KEM ditandatangani.

Mengacu kontrak pengusahaan itu, Pemerintah Indonesia menyerahkan 6.670 hektare lahan berstatus hutan di Kelian sebagai wilayah pinjam pakai kepada KEM untuk didulang cadangan bijihnya yang tereksplorasi.

Tak berapa lama, pada 1990 perusahaan itu juga memperoleh persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang selanjutnya menjadi pedoman umum aktivitas tambangnya di Kelian.

Dalam dokumen itulah, KEM dipastikan mengoperasikan standar tambang terbuka (open pit) yang menggunakan convensional bor, peledakan hydraulic power shovel, dan pengangkutan dengan truk

Teknik ini dinilai paling memungkinkan untuk mengolah cadangan bijih berstruktur piramida terbalik yang telah terbukti sementara pada saat itu sekitar 53,5 juta ton untuk dapat dijadikan komoditas bernilai, emas dan perak.

Amdal itu pulalah yang menentukan pengelolaan bijih melalui proses float roast leach (FRL) untuk menyaring sulfida yang mengandung emas dengan menggunakan sianida (Cn).

Dengan teknik ini, KEM dipastikan tidak membutuhkan merkuri (Hg) penangkap emas seperti yang dilakukan pada sejumlah pertambangan emas lainnya.

Mulai produksi 

Dengan data teknis tersebut, KEM memulai produksi komersil pada 1992. Sejumlah alat berat dikerahkan ke lokasi tambang yang berada sekitar 45 kilometer dari pusat kota kabupaten.

Jutaan ton material digali setiap harinya. Empat areal penimbunan (stock pile) dibuka untuk menampung galian bijih sebelum diproses di pabrik pengolahan. Tempat pembuangan limbah tailing (tailing dam) di Lembah Namuk pun disiapkan.

Tidak hanya itu, ratusan hektare di antaranya juga disulap menjadi permukiman untuk sedikitnya 480 pekerja tambang.

Tercatat sejumlah fasilitas dibangun untuk menjamin operasional karyawan a.l rumah tinggal, perkantoran, arena olah raga dan hiburan, rumah sakit, serta akses transportasi.

Akibat kesibukan itu, setidaknya 1.192 hektare lahan hutan pinjam pakai terbuka dan dipastikan terganggu dengan aktivitas tersebut.

Namun secara bertahap, KEM mencatatkan rata-rata produksi hingga 14 juta ton per tahun. Sementara limbah pengolahan bijih membengkakkan volume material buangan hingga 1,43 kali dibandingkan sebelumnya. Tak kurang 80 juta ton tailing menumpuk di Lembah Namuk.

Pengangkatan bahan galian itu berlanjut selama 11 tahun kemudian. Hingga pada Mei 2003, mau tidak mau KEM menyatakan pengakhiran produksi menyusul habisnya potensi kandungan emas di tambang tersebut.

Cadangan habis 

Penghentian produksi itu mengawali kerja berat KEM selanjutnya untuk merehabilitasi lahan pinjam pakai yang rusak di kawasan pertambangan. Menuntaskan reklamasi di bekas tambang itu adalah tugas terakhir KEM sebelum harus meninggalkan Indonesia.

Dengan sisa waktu 12 tahun dari masa berakhirnya kontrak pada 2015, KEM harus menjamin areal hutan pinjam pakainya dikembalikan hijau sebelum diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

Untuk keperluan tersebut, KEM membentuk Komite Pengarah Penutupan Tambang (KPPT) pada 2002. Beranggotakan 12 orang, KPPT merangkul semua instansi terkait, a.l. Pemkab Kutai Barat, Departemen Kehutanan, Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral pada Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia, dan Dewan Adat Kutai Barat.

Berbagai masalah yang diduga terjadi sebagai dampak aktivitas pertambangan diidentifikasi KPPT. Hingga sejumlah keputusan terkait hal itu ditetapkan sebagai titik tolak pengakhiran kegiatan KEM dan proses remediasi kehidupan di sekitarnya.

Keputusan KPPT itu a.l mengenai pengembalian rona muka hutan pinjam pakai menjadi hutan lindung/lahan basah (wet land), pembuangan tailing dan penguatan struktur dam, standar pengakhiran, pembuangan aset, serta masalah kemasyarakatan.

·  Aprika R. Hernanda,
Kontributor Bisnis Indonesia

 

sumber: