Membangun Kementerian LH (yang) Kuat

KOMPAS - SEHARI sebelum Rapat Paripurna, DPR mengambil suara tentang penerimaan atau penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 mengenai Penambangan di Hutan Lindung, Juli lalu, seorang pemimpin lembaga swadaya masyarakat meyakinkan saya bahwa hasil lobi mengungkapkan mayoritas anggota akan menolak perpu. Karena itu, semua LSM tercengang ketika keesokan harinya DPR menyetujui perpu dengan 131 melawan 106 suara. Dan, segera pula tercium bau permainan politik uang dibaliknya, namun sulit membuktikannya.

Baru-baru ini, beberapa anggota DPR yang terlibat aktif dalam Panitia Khusus Perpu "meminta maaf karena Rapat Paripurna DPR telah menyetujui perpu ini". Mereka mengaku ada upaya suap, Rp 50 juta-Rp 150 juta, yang melicinkan persetujuan DPR ini.

Kegiatan lobi dengan permainan uang serta power politics merupakan segi hitam dalam demokrasi. Dalam masyarakat tumbuh berbagai kelompok dengan kepentingan yang berbeda-beda. Proses demokrasi membuka peluang menggalang kelompok yang bersamaan kepentingan dalam satu aliansi untuk berhadapan dengan aliansi kelompok kepentingan lain. Melalui pemilu, kelompok politisi yang menang akan diincer oleh berbagai kelompok kepentingan.

Indonesia berada pada tahap permulaan budaya demokrasi sehingga lahirlah praktik rent seeking; memanfaatkan kedudukan politik untuk mengegolkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan kelompok tertentu dengan "imbalan jasa atau rent". Ini berlaku terutama bagi mereka yang menduduki posisi "basah" memberi izin, fasilitas, kemudahan, hukuman, subsidi, dan hak menentukan kebijakan serta peraturan perundang-undangan. Dalam kerangka inilah bisa dipahami mengapa anggota DPR laku "menjual suaranya" dengan imbalan rent.

Pertarungan antara para politisi sering berkaitan dalam merebut alokasi anggaran, hak pengusahaan sumber daya alam dan izin bangunan atas ruang milik publik untuk kepentingan kelompoknya. Dalam pertarungan ini mekanisme pasar berguna menghitung biaya dan manfaat menilai tawaran dari berbagai kelompok kepentingan. Pasar menangkap baik sinyal-sinyal ekonomi, tetapi kurang memahami sinyal lingkungan hidup. Pasar cenderung berpikiran jangka pendek, tetapi kabur menghitung biaya dan manfaat dalam jangka panjang. Pasar bisa menghitung biaya-manfaat di dalam perusahaan, tetapi gagal mengukur biaya-manfaat dampak usaha perusahaan pada lingkungan. Pasar berfungsi baik dalam menggambarkan harga kelangkaan barang dan jasa milik individu, tetapi gagal menghargakan barang dan jasa milik publik, seperti nilai harga sumber daya alam dan lingkungan, khususnya yang dimiliki masyarakat bersama.

Tampaklah bahwa pasar lebih menguntungkan "ekonomi" dan gagal menangkap isyarat "lingkungan". Kegagalan pasar ini menjelaskan mengapa pembangunan merusak lingkungan. Dan, lingkungan hidup sebagai milik bersama dipakai oleh semua tanpa mengindahkan keberlanjutan fungsi lingkungannya. Inilah yang mendorong para kepala negara dan pemerintahan dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002, mengoreksi pembangunan konvensional dan beralih ke pola pembangunan berkelanjutan.

Pola baru ini meninggalkan alur tunggal ekonomi dan menggantikannya dengan pengembangan tiga alur pembangunan mencakup sekaligus keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ekonomi tidak lagi mendominasi dan mendikte pembangunan sosial dan lingkungan. Bahkan, akibat semakin langkanya sumber daya alam penunjang sistem kehidupan manusia maka keberlanjutan lingkungan menjadi sistem yang lebih penting dan lebih utama dibandingkan ekonomi dan sosial.

Sistem alam penunjang kehidupan manusia cenderung menunjukkan kerusakan yang semakin gawat di masa depan. Air tawar diperkirakan semakin kritis pengadaannya di masa depan. Suhu Bumi yang semakin panas, cuaca iklim yang berubah, dan permukaan laut yang meningkat diakibatkan oleh menebalnya lapisan zat cemar karbon di udara, hasil polusi industri, transportasi dan energi. Luas hutan menciut dan merusak keanekaragaman hayati, mengeringkan sumber mata air dan menimbulkan erosi tanah.

Ringkasnya, kondisi lingkungan hidup Indonesia merosot terus. Semua ini tidak terungkap oleh mekanisme pasar dan tak terangkum dalam penghitungan produk domestik bruto. Pola pembangunan konvensional seperti ini sulit tumbuh berlanjut, sementara jumlah penduduk Indonesia mendekati 300 juta jiwa (2030).

KEGALAUAN pasar ini memerlukan koreksi dari institusi "pentakbiran bijak" atau good governance dan meletakkan kepentingan sosial dan lingkungan setingkat dengan kepentingan ekonomi dalam arus tengah pembangunan berkelanjutan. Apabila governance kita pun korup, maka pasar gagal dikoreksi dan pembangunan tak berlanjut.

Membenarkan "penambangan di hutan lindung" adalah wujud dari distorsi ekonomi pasar. Pertambangan dianggap lebih unggul karena menghasilkan devisa, pajak perusahaan, retribusi, dan lapangan kerja ketimbang hutan lindung yang tidak menghasilkan pendapatan uang. Semua "manfaat pertambangan" terekam oleh pasar. Tetapi, "manfaat hutan lindung" tidak terekam pasar, seperti menyerap zat cemar, menampung air hujan untuk dialiri sungai, menjadi habitat plasma nutfah dan makhluk alami, menghasilkan sumber alam yang diperbarui seperti kayu, buah-buahan, flora, fauna, dan bahan baku kehidupan. Semua jasa hutan lindung ini tidak masuk perhitungan harga pasar sehingga "kalah" dalam persaingan perhitungan manfaat pertambangan. Sebaliknya, "biaya pertambangan" pun tidak ditangkap pasar, seperti dampak pertambangan pada pencemaran udara, pencemaran air dan biaya penipisan nilai sumber daya alam pertambangan yang sifatnya tidak diperbarui. Ketimpangan perhitungan biaya-manfaat ini mendorong pembangunan yang merusak lingkungan.

Untuk mewujudkan pola pembangunan berkelanjutan sangatlah penting, pertama, langkah tindak mengoreksi "kegagalan pasar". Untuk ini secara sadar pemerintah berintervensi melalui perpajakan, subsidi, legislasi, insentif, dan penalti hukum memasukkan "biaya sosial dan lingkungan" agar tercapai tingkat keseimbangan dengan perhitungan ekonomi. Tetapi, ini bisa terlaksana bila tidak ada kegagalan governance sehingga pemerintahan berfungsi untuk kepentingan seluruh masyarakat. Dan, para politisi selaku anggota eksekutif, legislatif, dan yudikatif berpegangan teguh pada ungkapan Ketua Umum Masyumi, Muhammad Natsir, saat terpilih menjadi Kepala Pemerintahan Republik Indonesia: "loyalitas saya pada partai saya berhenti saat loyalitas saya pada negara mulai."

Kedua, mengoreksi "kegagalan governance" dengan menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan. Juga penting menerapkan praktik manajemen antikorupsi gaya Gamawan Fauzi, Bupati Solok-penerima "Bung Hatta Anti Corruption Award 2004"-dengan pola depersonalisasi, memperkecil hubungan tatap-muka dalam peladenan izin, tender, dan serupa. Pola ini akan lebih efektif jika ada "peniup semprit korupsi" seperti Saldi Isra dari Forum Peduli Sumatera Barat yang membongkar kasus korupsi DPRD Sumatera Barat. Karena itu, diperlukan pemberdayaan kelompok masyarakat madani sebagai penyeimbang terhadap pengusaha selaku pelaku pasar dan terhadap politisi selaku pelaku governance. Perlu dikembangkan hak dan kewajiban masyarakat madani untuk berperan serta mengefektifkan pembangunan berkelanjutan.

Ketiga, perlu langkah nyata memberdayakan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan senjata pemangkas kerusakan lingkungan yang efektif. Untuk ini, Direktorat Jenderal Penataan Ruang (Departemen Kimpraswil), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Departemen Kehutanan) dan fungsi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan perlu diintegrasikan dalam KLH sebagai departemen penuh. Kedudukan direktorat jenderal yang "mengelola kelestarian" dalam Departemen Kimpraswil yang mengeksploitasi sumber daya alam menimbulkan konflik kepentingan internal departemen, yang dirangsang oleh distorsi fungsi pasar yang gagal cenderung mengalahkan peranan "pelestarian" departemen. Penggabungan kedua direktorat jenderal itu dalam KLH akan lebih mengefektifkan kinerja LH.

Dengan semakin gencarnya proses pemberdayaan kelompok masyarakat madani, akan semakin efektiflah kelompok "peniup semprit antikorupsi" membawa masyarakat kita ke alam keterbukaan dan akuntabilitas. Ini memperbaiki peranan governance untuk mengatasi kelemahan pasar dalam menangkap isyarat sosial dan lingkungan dalam pembangunan. Dan, dengan peningkatan KLH menjadi departemen penuh dengan wewenang penataan ruang, pengembangan hutan lindung, dan pengelolaan kawasan perlindungan alam serta pengendalian dampak lingkungan, maka kegagalan pasar dan kegagalan governance bisa ditanggulangi dan pembangunan berkelanjutan bisa terwujud. Kita bisa berbuat lebih baik. Bersama masyarakat madani kita pasti bisa!

 

sumber: