Masih Krisiskah Indonesia?
oleh : Steve Susanto, Kompas 1 Maret 2004
KERAP disebut, Indonesia masih mengalami krisis multidimensional berkepanjangan. Lima tahun lebih telah berlalu, lima tahun pula usia kita bertambah sejak krisis menghunjam kita di tahun 1998, menanamkan trauma yang teramat pedih untuk bisa dilupakan. Sakit bukan kepalang bagi banyak orang karena mendadak merasakan sengsaranya hidup ini.
SEKONYONG-konyong harga barang kebutuhan hidup membubung 77,5 persen pada tahun 1998, jauh di atas atap pendapatan masyarakat yang terancam keberadaannya, bahkan banyak yang dipecat dari pekerjaannya.
Lebih menyakitkan kalbu bagi yang dipecat adalah ambruknya martabat diri dari profesional dan pebisnis kelas kakap menjadi "CEO" sektor informal, profesional kapiran atau direktur eksekutif "PT Apa Lu Mau Gua Ada" yang harus kelilingan cari obyekan untuk melangsungkan asap dapur. Inilah nostalgia getir yang membuat kita tidak menolak istilah keren: krisis multidimensional yang berkepanjangan. Demikian terkesimanya kita pada perubahan yang teramat radikal membuat banyak orang, hingga kini, masih merasa hidup seolah dalam siaga satu terus tanpa canda.
Makna krisis
Kamus Webster mendefinisikan makna krisis salah satunya sebagai: An unstable or crucial time or state of affairs in which a decisive change is impending; especially: one with the distinct possibility of a highly undesirable outcome. Maknanya, pas dengan yang tengah terjadi di tahun 1998 tatkala kita tengah kritis, semua serba tak menentu dan segalanya bisa terjadi, bahkan yang biasanya tidak mungkin menjadi dimungkinkan, terutama di pertengahan bulan Mei 1998. Perubahan besar akan terjadi, tetapi saat itu kita tidak tahu akan ke mana hidup ini. Aneka kemungkinan buruk bermunculan secara menjadi-jadi (one with the distinct possibility of a highly undesirable outcome) karena saat itu nyawa pun bisa melayang, apalagi harta atau kehormatan dan yang lain, seperti yang kita semua bisa renungkan kembali.
Krisisnya bukan melulu ekonomi, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Jargon kondangnya multidimensional. Semua menerapkan siaga satu, ke mana-mana bawa senjata bagai pendekar yang siap menebas leher siapa pun yang salah bicara atau salah bersikap dan bertindak dalam keadaan yang amat mencekam. Gelombang demonstrasi membahana disertai pekikan mahasiswa yang tak kunjung henti. Puncaknya, peralihan tampuk kepemimpinan negara ini.
Setelah tumbangnya rezim lama, Orde Baru, susahnya hidup bagi kebanyakan orang tidak sirna seketika. Hidup tidak lagi seseram seperti sebelumnya. Kita tidak lagi tercekam kekhawatiran dan kecemasan melelahkan. Berangsur, hidup kembali ke fase normal, hampir seperti biasanya. Keadaan di paruh kedua tahun 1998 tidak segenting Mei 1998. Normalisasi roda kehidupan mulai berlangsung seiring berlalunya kegawatan hidup. Intensitas makna krisis pun melarut karena tahun 1999 tidak segawat Mei 1998, meskipun rasa aman belum pulih benar sampai dilantiknya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden pada 20 Oktober 1999. Episode Pemilu 1999 membuat banyak orang waswas, tapi tidak panik karena panorama sosialnya tidak seganas pada tahun 1998, kecuali di Maluku, Aceh, dan Poso yang tengah berlangsung pertumpahan darah.
Inflasi mencapai titik terendah dalam sejarah Indonesia pada tahun 1999 (0,79 persen). Roda ekonomi yang macet pada tahun 1998 (laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto atau PDB negatif 13,13 persen pada tahun 1998) mulai bergelinding, tapi masih sangat lamban (laju PDB tahun 1999 telah positif 0,79 persen). Baru pada tahun 2000, roda perekonomian bisa menggelinding lancar dengan laju PDB 4,92 persen. Indikator-indikator pada tabel menunjukkan perkembangan Indonesia tahun 1998-2003.
Arti dimensional pada krisis pun mencair, terpusat pada sisi ekonomi karena belum banyak bergeraknya roda-roda bisnis. Tetapi ini pun bukan dalam arti krisis, apa lagi krisis multidimensional yang berlarut karena tiadanya kegawatan ala Mei 1998. Kendati tidak lagi dalam keadaan krisis, permasalahan yang ditinggalkan krisis tersebut masih seabrek-abrek, berceceran di seantero nusantara. Belum lagi aneka permasalahan baru bermunculan serba berbarengan yang membuat negara ini ruwet tidak karuan. Satu dipecahkan muncul seribu satu masalah baru. Negara ini seolah didera permasalahan yang tak kunjung usai akibat tumpukan masalah lama.
Dahsyat memang menyaksikan pergolakan di Aceh, Maluku, dan Sulawesi Tengah. Juga di banyak daerah, walau skalanya tidak sekaliber Mei 1998 yang lingkupnya nasional dan sifatnya monumental untuk layak disebut krisis nasional.
Muncul lagi
Suasana mencekam kembali muncul pada paruh pertama tahun 2001 akibat pertikaian eksekutif dengan legislatif yang kian menajam yang berujung pada dilengserkannya Presiden Abdurrahman Wahid dan dilantiknya Presiden Megawati. Mencekam memang, tapi tidak sedramatis prahara Mei 1998. Roda ekonomi yang mulai bergelinding cepat pada tahun 2000 kembali melambat seperti tampak pada tabel.
Harga-harga barang naik. Inflasi tahunan pun naik dari 9,35 persen pada tahun 2000 ke 12,55 persen pada tahun 2001. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) satu bulan naik dari 14,53 persen pada tahun 2000 ke 17,62 persen pada tahun 2001. Kurs nilai tukar juga melemah dari Rp 9.595 per dollar AS pada tahun 2000 ke Rp 10.400 per dollar pada tahun 2001. Laju pertumbuhan ekonomi yang diukur lewat laju PDB tahun 2001 melamban jadi 3,44 persen dari 4,92 persen pada tahun 2000. Peringkat Indonesia menurut lembaga pemeringkat Standard & Poor’s turun dari B- pada tahun 2000 ke CCC pada tahun 2001. Demikian pula cadangan devisa turun dari 29,39 miliar dollar pada tahun 2000 ke 28,02 miliar dollar. Hampir semua indikator ekonomi memburuk pada tahun 2001.
Berbalik
Keadaan berbalik membaik pada tahun 2002 meski ada serangan teroris di bulan Oktober. Hampir seluruh indikator ekonomi membaik (lihat tabel). Inflasi turun dari 12,55 persen pada tahun 2001 menjadi 10,03 persen. Suku bunga SBI turun pula dari 17,62 persen (2001) ke 12,93 persen. Kurs kembali menguat dari Rp 10.400 per dollar menjadi Rp 8.940 per dollar. Konsumsi listrik dan semen serta penjualan mobil dan motor pun meningkat. Indeks harga saham gabungan (IHSG) juga demikian. Cadangan devisa negara, peringkat negara, utang pemerintah, dan sebagainya semua berubah. Lebih penting lagi, roda ekonomi bisa berputar lebih cepat dari 3,44 persen pada tahun 2001 ke 3,66 persen pada tahun 2002.
Proses pemulihan berlanjut tahun 2003. Roda perekonomian berputar lebih cepat lagi dari 3,66 persen pada tahun 2002 menjadi 4,1 persen. Inflasi turun dari 10,03 persen pada tahun 2002 ke 5,06 persen, yang artinya daya beli masyarakat tahun 2003 tidak terpangkas kenaikan harga sebanyak tahun 2002. Suku bunga SBI turun dari 12,93 persen pada tahun 2002 ke 8,31 persen. Kurs pun berlanjut menguat dari Rp 8.940 per dollar pada tahun 2002 ke Rp 8.465 per dollar.
Indikator-indikator lain, seperti pada tabel pun berkata serupa. Tahun 2002 lebih baik dari tahun 2001, tapi 2003 lebih baik lagi dari tahun 2002. Yang dihasilkan atau diproduksi Indonesia pada tahun 2003, lebih banyak dibandingkan dengan pada tahun 2002 karena mesin-mesin produksi yang macet, tertambat di bengkel BPPN, telah banyak digelindingkan balik ke dunia usaha untuk difungsikan.
Bergelindingnya roda-roda perekonomian ini membuat kehidupan kembali ke fase normal, diwarnai tawa, canda, meski belum untuk seluruh masyarakat. Roda–roda kehidupan telah bergulir hampir seperti sebelum krisis. Di tahun 2003, kita pastinya tidak secemas pada tahun 1998. Masa depan tidak segelap sebelumnya, bahkan tidak lagi suram.
Pengamat, terutama ekonom, termasuk di Danareksa Research Institute (DRI) kebanyakan memperkirakan perputaran roda ekonomi tahun 2004 akan lebih cepat dibandingkan dengan tahun 2003. DRI memperkirakan laju perekonomian pada 2004 sebesar 4,5 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan 4,1 persen pada tahun 2003. Konsensus para pengamat mengatakan tingkat dan laju produksi dan pendapatan Indonesia pada tahun 2004 lebih tinggi dan pesat dibandingkan dengan 2003.
Jauh lebih baik
Dibandingkan dengan tahun 1998, tahun 2004 jauh lebih baik. Secara ekonomi Indonesia telah beranjak dari suramnya masa datang menuju kecerahan. Paling tidak negara ini tidak sekusut dan sesemrawut sebelumnya. Sistem perbankan tidak serapuh sebelumnya, meskipun masih banyak kebolongan yang perlu ditambal, seperti munculnya beberapa skandal perbankan.
Permasalahan lama korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang meluluhlantakkan negara ini ternyata tak kunjung berakhir. KKN masih harus menjadi prioritas utama kita. Kita berhadapan dengan benteng terkuat KKN, yaitu sistem peradilan yang perlu dirajut ulang. Peradilan yang dipercaya, satu dari tiga syarat mutlak untuk menyelenggarakan sistem demokrasi di negara yang menganutnya, di samping serikat pekerja dan pers independen.
Dua syarat terakhir, telah muncul, bahkan kadang kelewatan, dengan tumbangnya rezim lama.
Unsur credible justice belum kita miliki. Inilah tugas bersama. Tanpa ini "habis gelap terbitlah terang" akan berubah menjadi gelap lagi.
sumber: