Masa Depan Sektor Pertambangan Suram

Masa Depan Sektor Pertambangan Suram

Iklim Investasi Pertambangan Buruk

Suara pembaruan, 23 Januari 2006

 

JAKARTA - Masa depan sektor pertambangan Indonesia suram dan memprihatinkan. Bukan hanya karena investor menilai iklim investasi di sektor pertambangan Indonesia tidak sebaik di negara-negara lain. Tetapi juga, karena Rancangan Undang-Undang mengenai Mineral dan Batubara (RUU Minerba) justru dianggap sebagai ancaman bagi dunia pertambangan, bukan memberi kepastian hukum seperti yang diharapkan investor.

Dari penelitian PricewaterhouseCoopers (PwC), terungkap, perusahaan-perusahaan tambang kelas dunia memandang kondisi investasi di Indonesia tidak sebaik dan semenarik di negara lain. Lembaga independen itu mengingatkan, bila pemerintah tidak segera membenahi segala hal yang terkait dengan sektor pertambangan, tak akan terhindarkan jika dalam kurun 15 tahun mendatang industri pertambangan di Indonesia akan menjadi tidak ada artinya.

Sangat ironis. Sebab, PwC mencatat fakta, sebenarnya potensi mineral tambang yang dimiliki Indonesia masih sangat menjanjikan. Potensi itu, hanya dapat bermanfaat bila ada investasi. Keberhasilan industri pertambangan dalam jangka panjang sangat bergantung pada besarnya investasi baru yang masuk. "Kondisi ini patut diprihatinkan," kata Penasihat Ahli PwC, Ray Headifen di Jakarta, Jumat (20/1).

Menyikapi kondisi ini, PwC menyarankan, agar pemerintah secepatnya melakukan perubahan, mengarah ke hal-hal yang positif sehingga investor asing yang kini mulai enggan menanamkan modal besar di sektor pertambangan kembali melirik Indonesia.

Pertahankan Kontrak Karya

Dalam paparannya, Headifen menjelaskan, salah satu indikasi buruknya penilaian perusahaan-perusahaan tambang terhadap iklim investasi di Indonesia, terlihat dari tingkat pengeluaran atau investasi yang dicairkan untuk eksplorasi yang sangat jauh dibanding tingkat pengeluaran eksplorasi global.

Di Indonesia angka pengeluaran eksplorasi masih di bawah 1,5 persen dari kenaikan tingkat pengeluaran eksplorasi global, yang mencapai 58 persen dalam periode 2003 hingga 2004.

"Tahun 2004 pengeluaran eksplorasi global mencapai US$ 1,5 miliar dari US$ 1 miliar pada tahun sebelumnya. Sementara di Indonesia, pada periode yang sama tetap US$ 7 juta. Sebagian besar pengeluaran ekplorasi terjadi di Amerika Latin, Kanada, dan Afrika. Pengeluaran eksplorasi di Indonesia baru akan berlanjut setelah perusahaan yakin keadaan investasi membaik," katanya.

Menurut PwC, industri pertambangan Indonesia saat ini masih meraih keuntungan. Namun, hal itu karena dipengaruhi membaiknya harga komoditas dunia. PwC mencatat, terjadi peningkatan penghasilan perusahaan pertambangan di Indonesia hingga 25 persen dan peningkatan laba bersih hingga 62 persen.

Untuk membantu memulihkan kondisi sektor pertambangan, PwC merekomendasikan dilakukannya perubahan positif agar investasi baru mudah diraih, yakni mengembalikan kepastian hukum dalam jangka panjang melalui sistem Kontrak Karya (KK), yang diisyaratkan akan diubah menjadi izin usaha pertambangan dalam RUU Minerba.

"RUU Minerba, yang menghapus sistem Kontrak Karya, akan menghambat investasi asing masuk ke Indonesia. Sistem Kontrak Karya dinilai investor sudah adil dan terhormat. Jadi mengapa itu harus diganti. Yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana memperbaiki iklim investasi. Yang sudah baik seharusnya dipertahankan. Perlu diingat, industri pertambangan menyumbang 2,8 persen dari jumlah PDB Indonesia," ujar Headifen.

sumber: